Radikalisme adalah suatu tindakan
atau sebuah paham/ajaran yang dilakukan sekelompok
orang karena menginginkan perubahan sosial dan politik secara drastis dengan
menggunakan cara-cara kekerasan. Mengapa Indonesia begitu rentan dengan gerakan
radikal? Ada apa dengan Indonesia?
Sejarah
gerakan radikal di Indonesia terus menggeliat sejak pasca kemerdekaan hingga sekarang. Peristiwa
Kartosuwirjo (1950) dengan DI/TII, Komando Jihad (1967), Front Perjuangan
Revolusioner Islam (1978), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI), Laskar Jihad, aksi teror DR Azhari dan Nurdin M. Top serta
aksi radikal lainnya yang bertebaran
di Poso, Ambon, Aceh, Papua, Sulawesi
dan Kalimantan.
Ideologi
politik dan agama adalah akar lahirnya
gerakan radikal di Indonesia. Dalam terminologi
politik, ideologi komunis telah
memunculkan gerakan PKI (1965). Sedangkan, kalau islam sebagai dasar ideologi, telah
melahirkan DI/TII (1950).
Robert Mirsel (2004) dalam bukunya ‘ Teori
Pergerakan Sosial’ menyebutkan gerakan sosial adalah sekelompok orang yang memiliki seperangkat keyakinan dan tindakan tak terlembaga (noninstitutionalised) yang
bertujuan untuk memajukan atau menghalangi perubahan
di masyarakat.
Sekelompok orang ini cenderung tidak diakui sebagai sesuatu
yang berlaku umum secara luas dan sah dalam masyarakat.
Bila teori
diatas dikaitkan dengan gerakan radikal di Indonesia, maka aksi radikal adalah
bentuk pergerakan sosial di Indonesia.
Aksi radikal muncul karena adanya
sikap dan perilaku segelintir
oknum eksekutif, legislatif dan yudikatif, tokoh agama serta aparat hukum yang berlaku tidak adil, tidak jujur, arogan
serta melakukan pembiaran terhadap pelanggaran HAM,
Egosentrisme
sekelompok tokoh agama juga melahirkan sentimenisme teologi fanatik dan
eksklusivisme teologis. Ketimpangan ekonomi serta terkontaminasinya proses
komunikasi massa antarmanusia Indonesia yang terjadi di sosial media, menjadi bagian dari munculnya gerakan radikal.
Ketidakpuasan
sebagian masyarakat atas kejahatan
sosial yang dilakukan elit politik, elit agama dan elit penegak hukum menjadi
‘bahan peledak’ yang setiap saat bisa merobohkan Indonesia dan melahirkan
gerakan radikal.
Untuk
itulah, seluruh stake holder Indonesia perlu menyadari dan memperbaiki ‘kekeliruannya’ dalam
mengeluarkan berbagai kebijakan sosial dan politik untuk rakyat. Semua elit
negara, elit hukum dan elit agama wajib menangani bahaya radikalisme dengan
cara-cara persuasif, edukatif dan integralistik, bukan dengan tindak kekerasan.
Mampukah? (Foto/Ilustrasi:Ist)
plus.google.com/+INDONESIAComment
Indocomm.blogspot.com
#INDONESIAComment
Deenwawan.photogallery.com
Comments
Post a Comment