Dalam sepuluh tahun terakhir ini, polemik sengit seputar perempuan yang memakai cadar, hijab/jilbab dan melakukan ziarah makam terus terjadi. Bahkan, perdebatannya semakin keras. Hal ini diduga kuat terkait dengan semakin maraknya gerakan terorisme dan penyebaran ideologi radikal yang diidentikkan dengan kalangan muslim di Indonesia.
Persoalan memakai cadar (niqab) bagi perempuan sebenarnya merupakan masalah yang masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam. Menurut madzhab Hanafi, di zaman sekarang perempuan yang masih muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang membuka wajahnya di antara laki-laki, bukan karena wajah itu termasuk aurat, tetapi lebih untuk menghindari fitnah. (Sumber: lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134). Artinya, “Mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya.
BACA JUGA: Amien Rais Dan Partai Setan, Ngeri!
Sedangkan menurut madzhab Maliki, makruh hukumnya bagi wanita menutupi wajah, baik ketika dalam shalat maupun di luar shalat karena termasuk perbuatan berlebih-lebihan (al-ghuluw).
Jauh-jauh hari sebelum masalah cadar merebak, perempuan yang memakai hijab/jilbab juga terus memicu friksi yang dikaitkan dalam ajaran Islam. Polemik soal hijab/jilbab pun sampai saat ini statusnya masih menggantung. Bahkan, sekelompok kaum muslim liberal barat berpendapat bahwa pemakaian hijab/jilbab haruslah kontekstual. Di Arab, menurut mereka, hijab/jilbab dipakai untuk melindungi fisik perempuan dari terik matahari.
Menyangkut hijab/jilbab ini, Allah SWT berfirman, “Wahai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak- anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka, yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang” (QS. AL Ahzab:59).
Dalam surat ini secara tegas Allah SWT menyampaikan bahwa tujuan pemakaian jilbab/hijab ialah agar wanita tidak mendapat gangguan dari pria lain dan mudah dikenali oleh suaminya. Artinya dalam konteks ini, perempuan yang telah menikah maupun yang belum menikah lebih dianjurkan untuk memakai jilbab/hijab dengan tujuan untuk melindungi dari dari ancaman laki-laki dan mudah dikenali oleh suaminya (bila sudah menikah). Kaum muslim menilai bahwa perempuan yang memakai jilbab/hijab, otomatis akhlaq dan moralnya sudah baik.
BACA JUGA: RA Kartini Menangis, Kenapa?
Dalam pandangan saya pribadi (maaf), pemakaian jilbab/hijab sebenarnya tidak ada kaitannya dengan ahlaq dan moral. Tidak ada jaminan bagi perempuan muslim yang sudah berjilbab/hijab, maka akhlaq dan moralnya jauh lebih baik, ketimbang muslimah yang tidak memakai jilbab/hijab. Kebaikan akhlaq dan moral bukan ditentukan oleh jilbab/hijab, melainkan oleh sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sosialnya sehari-hari.
Memakai jilbab/hijab bukan hanya sekadar untuk menutupi fisik semata. Tidak sedikit kaum muslimah yang sudah berjilbab/hijab, tetapi sikap, perilaku dan akhlaqnya masih sangat memprihatinkan dibandingkan dengan perempuan muslim yang belum berjilbab/hijab. Terlepas dari banyaknya pro dan kontra soal jilbab/hijab, ketika seorang muslimah sudah mau berjilbab/hijab, saya layak memberikan apresiasi karena dengan berjilbab/hijab, seorang muslimah mungkin akan secara perlahan memperbaiki sikap dan perilaku sosialnya.
Sedangkan menyangkut soal ziarah makam yang dilakukan perempuan, sebagian besar ulama masih berbeda pendapat. Syaikh Ibrahim Duwaiyyan mengatakan, jika seorang perempuan secara kebetulan berjalan melewati kuburan dan dia memberi salam serta mendo’akan penghuni kubur, maka hal ini baik (tidak mengapa) sebab perempuan tersebut tidak sengaja melewati pekuburan” (sumber: Manar As Sabil Fi Syarh Ad Dalil).
Sebagian ulama lainnya tidak membolehkan perempuan melakukan ziarah makam karena kemungkinan besar akan terjadi hal-hal yang bisa bertentangan dengan syari’at Islam. Misalnya, mereka menangis dengan keras, tabarruj (berhias), ikhtilath (bercampur baur dengan laki-laki), memamerkan perhiasan atau kecantikan, menjadikan kuburan sebagai tempat tamasya dan menghabiskan waktu dengan obrolan kosong atau bergosip. Namun, ada juga sebagian ulama lainnya, justru membolehkan perempuan melakukan ziarah makam, asal tidak melanggar syariat Islam seperti yang disebutkan diatas dan tidak menyalahi tuntunan yang diberikan Rasulullah SAW.
Masing-masing ulama (dari dua kelompok besar ini) tetap berpegang teguh kepada hadist yang diyakini kebenarannya. Faktanya, sampai saat ini, masih banyak perempuan melakukan ziarah makam. Dalam konteks sosial, ziarah makam yang dilakukan perempuan memang bukan hal mutlak yang harus dilakoni. Namun demikian, boleh-boleh saja perempuan melakukan ziarah makam, asalkan dengan niat hanya untuk memberikan do’a kepada ahli kubur.
Pada awalnya, Rasulullah SAW melarang umat Islam (tanpa kecuali) melakukan ziarah makam dengan tujuan untuk menghapuskan tradisi Jahiliyah yang berbangga-bangga dengan ziarah makam. Tetapi, kemudian Rasulullah SAW memberi keringanan hukum dengan memperbolehkan umat Islam melakukan ziarah makam. Tujuannya ialah agar manusia mengingat mati dan mempersiapkan diri untuk kehidupan akherat. Perempuan pun disyariatkan melakukan ziarah makam dengan syarat tidak boleh terlalu sering melakukannya. Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW melaknat wanita yang sering berziarah kubur.” (Sumber: HR. at Tirmidzi 1056, Ibnu Majah 1576 dan dinilai oleh hasan Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil 762).
Salam berbuka puasa bro...[ Wawan Kuswandi ]
LIHAT JUGA:
foto: istimewa
Comments
Post a Comment