Debat capres yang rencananya akan digelar KPU dan ditayangkan TV nasional 17 Januari mendatang, aromanya menyeruak tajam mengisi ruang-ruang publik. Komentar pro dan kontra soal debat capres, semakin kencang membelah fanatisme politik sejumlah politisi dan parpol pengusung dua pasangan capres dan cawapres yang ikut dalam kontestasi pilpres 2019.
Warganet juga tak mau kalah, ratusan argumen dari mulai yang logis sampai irasional menghiasi laman sosial media. Mengapa debat capres begitu menyedot emosi dan nalar bangsa ini? Apakah rakyat membutuhkan debat capres? Pertanyaan ini sangat menggelitik, sekaligus menjadi tinjauan kritis terhadap penting atau tidaknya debat capres.
Sesungguhnya, pemakaian kata debat sudah mengandung polemik dan friksi. Kata debat dalam bahasa Indonesia memiliki makna ‘perang’ kata atau argumentasi. Kata debat lebih berkonotasi konflik antara dua orang atau lebih saat mengupas sebuah persoalan sosial. Jadi, debat capres itu merupakan wujud konflik politik terbuka yang sengaja diciptakan diantara dua pasangan capres dan cawapres yang sedang berkontestasi. Apakah ini yang kita mau? Silahkan pikirkan baik-baik, sebelum bangsa ini pecah hanya karena gara-gara kekuasaan politik lima tahunan.
Rakyat tidak butuh debat capres, tapi butuh pilpres yang aman, nyaman dan damai. Rakyat tidak ingin negara chaos hanya karena gara-gara rebutan kursi presiden. Rakyat butuh bukti, bukan janji manis yang dibungkus dalam visi dan misi ekonomi, hukum, pemberantasan korupsi, terorisme dan HAM.
Debat Kusir Capres
Kalau saja bangsa ini memahami dengan baik bahwa kontestasi politik itu merupakan wujud demokrasi yang jujur, adil dan damai, maka pemakaian kata dialog capres akan lebih elegan dibandingkan dengan kata debat capres. Kata dialog lebih mengedepankan diskusi, berbagi pendapat dan ide dalam suasana kekeluargaan yang nyantai dan sejuk, paham khan?
Lantas, kalau debat capres tetap mau dilaksanakan, arahnya mau dibawa kemana? Setahu saya, sebuah perdebatan (apalagi debat capres) sangat sedikit sekali memberi manfaat bagi publik. Justru debat capres bisa menyulut konflik politik semakin memanas, baik secara terbuka maupun terselubung antarpaslon maupun antarpendukungnya (parpol, politisi dan rakyat).
Kemampuan bangsa ini dalam menilai debat capres sebagai salah satu bentuk demokrasi masih sangat rendah. Oleh karena itulah, dalam setiap perdebatan sering muncul istilah debat kusir. Saya khawatir, debat capres akan menjadi debat kusir yang bisa merusak perbedaan politik yang ada menjadi konflik terbuka. Lebih mengkhawatirkan lagi, bila ajang debat capres diskenariokan oleh sekelompok politisi rakus untuk merekayasa politik kotor. Mereka akan memanfaatkan debat capres untuk menebarkan hoaks (kebohongan), mengumbar janji-janji muluk, menjelek-jelekkan salah satu paslon dan membohongi rakyat.
Debat capres tak ubahnya seperti TV Shopping yaitu para paslon akan berperan seperti seorang salesman yang menjual obat kuat. Para paslon pasti akan melakukan pencitraan pribadi dan produknya (kebijakan politik), ngomong berapi-api soal membela kepentingan rakyat. Debat capres akan menjadi panggung terbuka bagi para paslon untuk mengelabui nalar rakyat. Debat capres menjelma menjadi virus yang mematikan bagi rakyat.
Debat Capres Mau Kemana?
Debat capres mau dibawa kemana? Kalau hanya sekadar menyampaikan visi dan misi, tidak perlu disiarkan di TV dengan memakai jargon debat capres. Debat capres akan membawa aura politik nasional semakin tidak kondusif. Buktinya, acara talkshow di TV beberapa waktu lalu yang mengangkat tema diskusi pra debat capres, ada beberapa politisi dungu dari dua kubu paslon berdebat panas dan ngawur. Mereka ngotot dengan kebenaran politiknya masing-masing. Ini jelas memalukan dan membodohi rakyat. Sadarkah bangsa ini?
Saya menduga, para politisi pengusung paslon sudah mempunyai agenda tersembunyi untuk saling ‘menjatuhkan’ lawan politiknya dalam debat capres. Misalnya, kubu paslon nomor urut 02 akan mengeritik seluruh kebijakan politik dan ekonomi yang dibuat paslon petahana (Jokowi) atau paslon nomor urut 01. Begitu juga dengan kubu paslon nomor urut 01, kemungkinan besar mereka akan membongkar rekam jejak paslon nomor urut 02 (Prabowo), terkait dengan kasus HAM, hukum dan korupsi. Sampai saat ini, saya masih belum tahu apa sih tujuan debat capres?
Elektabilitas Paslon
Sungguh sangat ngelantur, jika debat capres dinilai oleh sebagian pihak akan mampu mengatrol elektabilitas pasangan capres-cawapres. Elektabilitas tidak terkait langsung dengan debat capres. Sangat kecil kemungkinannya bahwa debat capres bisa menaikkan elektabilitas paslon.
Elektabilitas justru berkaitan erat dengan cara-cara kampanye paslon, kejujuran paslon, prestasi paslon, rekam jejak paslon serta manuver politik para politisi pengusung paslon. Peran para caleg dalam kampanye politik yang jujur dan bersih diri juga sangat penting untuk menaikkan elektabilitas paslon. Elektabilitas paslon akan semakin merosot tajam, bila mereka berkampanye tidak berbasis data alias bohong, tidak mau dikritik, menjelek-jelekkan paslon lain, tak mau mengakui prestasi paslon lain dan memecah belah bangsa dengan memakai isu SARA.
Sikap Politik Milenial
Kelompok milenial di pinggiran kota atau pedesaan yang kurang terdidik dan tidak melek politik mungkin saja akan terbawa arus oleh ‘ocehan-ocehan’ politik paslon dalam debat politik. Sekali lagi saya ingin menekankan bahwa peran para caleg sangat penting bagi elektabilitas paslon karena mereka merupakan jembatan komunikasi politik, sekaligus berperan sebagai opinion leaders bagi kelompok milenal. Bila para caleg parpol gagal ‘membimbing’ pemahaman politik kelompok milenial, maka suara politik milenial akan lenyap sia-sia. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa suara milenial tidak akan berpengaruh bagi paslon yang berkontestasi dalam pilpres 2019.
Di sisi berbeda, generasi milenial terdidik dan melek politik di perkotaan, tidak akan pernah terpengaruh oleh debat capres karena mereka terus mengikuti perkembangan politik, melalui media massa dan sosial media. Namun, tidak dapat dipungkiri, kelompok milenial jenis ini rawan golput (menolak ikut nyoblos) karena mereka sudah muak dengan sejumlah politisi muka lama yang sudah bertahun-tahun bercokol di gedung DPR RI atau parpol. Parpol dinilai gagal dalam kaderisasi. Jadi, jangan salahkan kelompok milenial bila mereka golput. Justru parpol dan politisi harus berkaca diri soal kaderisasi. Parpol harus berani ‘membuang’ politisi tua alias muka lama dari panggung politik zaman now. Salam seruput kopi tubruknya bro…
LIHAT JUGA:
Warganet juga tak mau kalah, ratusan argumen dari mulai yang logis sampai irasional menghiasi laman sosial media. Mengapa debat capres begitu menyedot emosi dan nalar bangsa ini? Apakah rakyat membutuhkan debat capres? Pertanyaan ini sangat menggelitik, sekaligus menjadi tinjauan kritis terhadap penting atau tidaknya debat capres.
Sesungguhnya, pemakaian kata debat sudah mengandung polemik dan friksi. Kata debat dalam bahasa Indonesia memiliki makna ‘perang’ kata atau argumentasi. Kata debat lebih berkonotasi konflik antara dua orang atau lebih saat mengupas sebuah persoalan sosial. Jadi, debat capres itu merupakan wujud konflik politik terbuka yang sengaja diciptakan diantara dua pasangan capres dan cawapres yang sedang berkontestasi. Apakah ini yang kita mau? Silahkan pikirkan baik-baik, sebelum bangsa ini pecah hanya karena gara-gara kekuasaan politik lima tahunan.
Rakyat tidak butuh debat capres, tapi butuh pilpres yang aman, nyaman dan damai. Rakyat tidak ingin negara chaos hanya karena gara-gara rebutan kursi presiden. Rakyat butuh bukti, bukan janji manis yang dibungkus dalam visi dan misi ekonomi, hukum, pemberantasan korupsi, terorisme dan HAM.
Debat Kusir Capres
Kalau saja bangsa ini memahami dengan baik bahwa kontestasi politik itu merupakan wujud demokrasi yang jujur, adil dan damai, maka pemakaian kata dialog capres akan lebih elegan dibandingkan dengan kata debat capres. Kata dialog lebih mengedepankan diskusi, berbagi pendapat dan ide dalam suasana kekeluargaan yang nyantai dan sejuk, paham khan?
Lantas, kalau debat capres tetap mau dilaksanakan, arahnya mau dibawa kemana? Setahu saya, sebuah perdebatan (apalagi debat capres) sangat sedikit sekali memberi manfaat bagi publik. Justru debat capres bisa menyulut konflik politik semakin memanas, baik secara terbuka maupun terselubung antarpaslon maupun antarpendukungnya (parpol, politisi dan rakyat).
Kemampuan bangsa ini dalam menilai debat capres sebagai salah satu bentuk demokrasi masih sangat rendah. Oleh karena itulah, dalam setiap perdebatan sering muncul istilah debat kusir. Saya khawatir, debat capres akan menjadi debat kusir yang bisa merusak perbedaan politik yang ada menjadi konflik terbuka. Lebih mengkhawatirkan lagi, bila ajang debat capres diskenariokan oleh sekelompok politisi rakus untuk merekayasa politik kotor. Mereka akan memanfaatkan debat capres untuk menebarkan hoaks (kebohongan), mengumbar janji-janji muluk, menjelek-jelekkan salah satu paslon dan membohongi rakyat.
Debat capres tak ubahnya seperti TV Shopping yaitu para paslon akan berperan seperti seorang salesman yang menjual obat kuat. Para paslon pasti akan melakukan pencitraan pribadi dan produknya (kebijakan politik), ngomong berapi-api soal membela kepentingan rakyat. Debat capres akan menjadi panggung terbuka bagi para paslon untuk mengelabui nalar rakyat. Debat capres menjelma menjadi virus yang mematikan bagi rakyat.
Debat Capres Mau Kemana?
Debat capres mau dibawa kemana? Kalau hanya sekadar menyampaikan visi dan misi, tidak perlu disiarkan di TV dengan memakai jargon debat capres. Debat capres akan membawa aura politik nasional semakin tidak kondusif. Buktinya, acara talkshow di TV beberapa waktu lalu yang mengangkat tema diskusi pra debat capres, ada beberapa politisi dungu dari dua kubu paslon berdebat panas dan ngawur. Mereka ngotot dengan kebenaran politiknya masing-masing. Ini jelas memalukan dan membodohi rakyat. Sadarkah bangsa ini?
Saya menduga, para politisi pengusung paslon sudah mempunyai agenda tersembunyi untuk saling ‘menjatuhkan’ lawan politiknya dalam debat capres. Misalnya, kubu paslon nomor urut 02 akan mengeritik seluruh kebijakan politik dan ekonomi yang dibuat paslon petahana (Jokowi) atau paslon nomor urut 01. Begitu juga dengan kubu paslon nomor urut 01, kemungkinan besar mereka akan membongkar rekam jejak paslon nomor urut 02 (Prabowo), terkait dengan kasus HAM, hukum dan korupsi. Sampai saat ini, saya masih belum tahu apa sih tujuan debat capres?
Elektabilitas Paslon
Sungguh sangat ngelantur, jika debat capres dinilai oleh sebagian pihak akan mampu mengatrol elektabilitas pasangan capres-cawapres. Elektabilitas tidak terkait langsung dengan debat capres. Sangat kecil kemungkinannya bahwa debat capres bisa menaikkan elektabilitas paslon.
Elektabilitas justru berkaitan erat dengan cara-cara kampanye paslon, kejujuran paslon, prestasi paslon, rekam jejak paslon serta manuver politik para politisi pengusung paslon. Peran para caleg dalam kampanye politik yang jujur dan bersih diri juga sangat penting untuk menaikkan elektabilitas paslon. Elektabilitas paslon akan semakin merosot tajam, bila mereka berkampanye tidak berbasis data alias bohong, tidak mau dikritik, menjelek-jelekkan paslon lain, tak mau mengakui prestasi paslon lain dan memecah belah bangsa dengan memakai isu SARA.
Sikap Politik Milenial
Kelompok milenial di pinggiran kota atau pedesaan yang kurang terdidik dan tidak melek politik mungkin saja akan terbawa arus oleh ‘ocehan-ocehan’ politik paslon dalam debat politik. Sekali lagi saya ingin menekankan bahwa peran para caleg sangat penting bagi elektabilitas paslon karena mereka merupakan jembatan komunikasi politik, sekaligus berperan sebagai opinion leaders bagi kelompok milenal. Bila para caleg parpol gagal ‘membimbing’ pemahaman politik kelompok milenial, maka suara politik milenial akan lenyap sia-sia. Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa suara milenial tidak akan berpengaruh bagi paslon yang berkontestasi dalam pilpres 2019.
Di sisi berbeda, generasi milenial terdidik dan melek politik di perkotaan, tidak akan pernah terpengaruh oleh debat capres karena mereka terus mengikuti perkembangan politik, melalui media massa dan sosial media. Namun, tidak dapat dipungkiri, kelompok milenial jenis ini rawan golput (menolak ikut nyoblos) karena mereka sudah muak dengan sejumlah politisi muka lama yang sudah bertahun-tahun bercokol di gedung DPR RI atau parpol. Parpol dinilai gagal dalam kaderisasi. Jadi, jangan salahkan kelompok milenial bila mereka golput. Justru parpol dan politisi harus berkaca diri soal kaderisasi. Parpol harus berani ‘membuang’ politisi tua alias muka lama dari panggung politik zaman now. Salam seruput kopi tubruknya bro…
Indocomm.blogspot.co.id
www.facebook.com/INDONESIAComment/
plus.google.com/+INDONESIAComment
@INDONESIAComment
Indonesiacommentofficial
@wawanku86931157
#INDONESIAComment
Deenwawan.photogallery.com
ICTV YouTube
foto: istimewa
www.facebook.com/INDONESIAComment/
plus.google.com/+INDONESIAComment
@INDONESIAComment
Indonesiacommentofficial
@wawanku86931157
#INDONESIAComment
Deenwawan.photogallery.com
ICTV YouTube
foto: istimewa
Comments
Post a Comment