Skip to main content

Cerpen: Negeri yang Tak Ingin Diimpikan


SEGENGGAM FAKTA SEJARAH
AKHIR TAHUN 1993...

Hari Pertama, Senin  Pagi,  Pukul 09.00 WIB.

Pesawat  Udara   yang  aku  tumpangi  mendarat  mulus di Bandara Internasional Negeri yang tak ingin diimpikan oleh semua makhluk hidup di jagat raya yaitu negeri Indongawur. Hampir delapan jam  waktu tempuh perjalanan  aku lalui,  cukup melelahkan juga. Namun, rasa lelah dan penat  hilang seketika, saat pesawat  turun di Bandara negeri Indongawur.  Rasa penasaranku untuk mengetahui berbagai ‘keanehan’ negara Indongawur sepertinya akan tuntas tak berbekas. Aku masih ingat omongan  Marco salah satu teman akrabku  yang sudah tujuh kali  berkunjung ke negeri Indongawur, Bandara ini sangat bersih, tertib dan teratur (aku sih belum yakin bener). Kalo emang benar,  aku mau  ceritakan hal ini kepada Om-ku yang seorang Senator, biar Bandara Negeri Indongawur  menjadi pilot  project  pembuatan pelabuhan udara  di negaraku. Aku jadi penasaran ingin buru-buru turun dari pesawat.  Tapi,  ha…….?! Apa yang kubayangkan ternyata meleset jauh banget! (aku kaget beneran saat jalan memasuki beberapa ruangan  Bandara), Pertama  pintu masuknya ngebingungin (saking banyaknya pintu), papan petunjuk elektronik  jadwal keberangkatan dan kedatangan pesawat  yang cukup besar dan menyedot perhatian mata, lampunya terlihat mati dan  hidup, rak kaca dan pedagang kelontong bertebaran disana-sini. Calo taksi gelap matanya tajam menguntit para penumpang yang berada di depan pintu gerbang keluar bandara,  kursi  pengantar dan penunggu  para penumpang letaknya nggak beraturan. Yang lebih parah lagi,  sepanjang aku berjalan  ke tempat parkir mobil,  sampah berserakan di beberapa tempat. Bahkan ada yang  sudah  teronggok  dan sedikit menggunung. Aku juga lihat ada beberapa tempat sampah yang  masih bersih dan lokasinya  berada jauh dipojokan (mungkin bak  sampahnya salah tempat, kali). Pedagang kopi atau teh  gendong keliling terlihat nyantai mangkal di halte parkiran.  Tampak beberapa sopir mobil pribadi menyeruput minuman dan menikmati kepulan asap rokok dimulutnya.  “Apa iya ini Bandara berkelas Internasional?” tanyaku dalam hati sambil mengingat-ingat  story  temanku si Marco  yang menggebu-gebu menceritakan kehebatan  Bandara ini sebanyak tujuh kali.  Menurutku sih, Bandara ini malah paling kotor, sumpek dan amburadul penataan ruang-ruangnya dibanding bandara  internasional negara lain yang pernah aku datangi sebelumnya.  Namanya juga negeri Indongawur.  Jalan-jalan  tetap berlanjut, oke!

 

Hari Kedua, Selasa Siang, Pukul 13.00 WIB 

                       

Panas sangat terik. Matahari  terlihat jantan menunjukkan sinarnya di atas langit  Jalan Jenderal Soedirman  dan MH Thamrin, Jakarta. Hari ini jadwal   melancongku  ke kota Tua, tempat   gedung dan bangunan kuno bergaya arsitektur klasik  peninggalan  penjajah alias kompeni Belanda. Menurut  sejarah yang aku baca, negeri Indongawur  dijajah menir-menir  Belanda selama 350 Tahun. ( Dasyat banget tuh Belanda. nggak bosen apa ngejajah  negeri orang sampe tiga setengah abad ). Sepanjang perjalananku naik busway, mataku tak  henti-hentinya menyodok berbagai sudut  kota. Ketika memasuki  seputar Jalan  Medan Merdeka, Veteran,  Majapahit dan Gajah Mada di sekitar kawasan dekat  Harmoni,  komentar kecil mulai mengusik jiwaku. Pertama  Gedung Istana  Merdeka  yang terlihat  gagah tetapi  menakutkan, mengapa?  Coba bayangin,  aku yang sengaja turun dari busway dan ingin mengambil kesempatan seumur hidup untuk  berfoto didepan istana (temanku bilang sih penampilanku kalo difoto kayak model cover majalah pria dewasa, he…he…he…)  gagal total,  karena dilarang dan ditegur  tentara penjaga  dengan wajah sangar  dan ‘gonggongan’  suaranya yang mirip anjing  pelacak narkoba.  Aku kecewa berat, bro.  Pengalaman ini benar-benar  mengagetkan  dan malu-maluin. Tapi,  travel  so must go on . Diperempatan lampu merah kawasan Harmoni, aku lihat suasana yang sangat semerawut. Rambu-rambu lalu lintas  tumpang tindih bertebaran disepanjang jalan. Puluhan  papan reklame elektronik berukuran besar  berlomba ketinggian menutup  kaki  langit Harmoni.  Sebelah kiri dan kanan jalan ada  ruko, kantor, mall, panti pijat,  hotel,  lalu lalang pedagang asongan,  warna-warni kain spanduk, seliweran kabel listrik, penumpang angkot yang berdiri jauh dari halte, macet,   pedagang koran, pengemis, angkot yang berhenti dan ngetem seenaknya. Beberapa orang polisi tampak duduk santai di poskonya. Mereka enggan  ‘ikut campur’.  Bunyi klakson kendaraan bertubi-tubi dan sangat  memekakkan telinga,  wuah…pokoknya, sepanjang  perjalanan (sekitar dua jam) hingga sampai  ke Terminal KA kota Tua semua tumpah ruah nggak karuan, sampe-sampe aku nggak bisa lagi nyebutin satu-satu ‘kekacauan’ menuju Kota Tua ini.  Namanya juga  negeri  Indongawur.


Hari Ketiga, Rabu Pagi Pukul 09.00 WIB  

 

Agenda  plesir  yang aku tunggu  di hari ketiga ini akhirnya datang juga yaitu mengunjungi  lembaga perwakilan rakyat alias melihat dari dekat cara ‘gawe’ para wakil rakyat di gedung Parlemen (MPR/DPR)  Negeri  Indongawur. Dari beberapa berita di internet yang aku ikutin dan berita di TV, kabarnya  banyak anggota  dewan yang korup,  selingkuh, backing pengusaha ilegal dan menjadi selebritis politik serta  masih banyak lagi ‘gaya-gayaan hedonism’ para wakil rakyat, termasuk jalan-jalan keluar negeri berbiaya besar  dengan label studi banding  (eit… ini sih namanya rakyat dikerjain bukan diwakilin). 

“Soal anggota  DPR  yang  jadi  ‘bandit’  bukan cerita baru.  Sejak  zaman  Orde baru, sampe sekarang,  rakyat sudah tau kalau mereka  jadi  objekkan politik,” tukas pak Tommy gait yang menemaniku melancong  di  Jakarta. 

“Hmm….masa sih? Kasihan dong rakyat,” jawabku singkat penuh tanya.

“Negeri  saya  ini sebenarnya  subur, kaya dan besar. Tapi para pemimpinnya banyak yang ngaco. Ada sih beberapa pemimpin yang bagus, tapi  kalah ‘sakti’ dengan bandit-bandit tadi.” Ungkap pak Tommy yakin.

Aku diam. Aku mencoba menjadi pendengar yang baik untuk pak Tommy. Dari pak Tommy juga aku tahu bahwa untuk menjadi  anggota Dewan yang terhormat (padahal kenyataannya anggota Dewan dengan fakta yang ada menjadi tidak terhormat).  Ada setoran duit ke partai politik tempat para anggota Dewan itu mangkal. Jadi nggak salah kalau ketika  mereka jadi anggota dewan nguber setoran sampe ngelebihin modal awal. Hebatnya lagi, mereka juga rebutan di komisi  basah (maksud pak Tommy menggolkan  RUU menjadi UU dengan selipan duit miliaran).  Mereka juga rame-rame berkomentar di TV tentang kasus apa aja  di koran, di TV dan radio untuk  menjaga  dedikasi & loyalitas kerakyatan. Padahal,  dibalik  celotehnya  ini  para anggota Dewan  nggak tahu apa-apa.  Mereka lantang ngomong kepada pada wartawan biar  dibilang vocal dan perhatian sama rakyat.  Justru sebenarnya mereka  aktor “kekacauan’  negeri  Indongawur.  Pengusaha-pengusaha  negeri  Indongawur  juga banyak yang sangat  ‘lengket’ dengan anggota Dewan (ada yang hidung belang lho) terutama saat pembahasan RUU tertentu agar  lolos jadi UU.  Miliaran rupiah ngucur ke kantong  anggota dewan melalui transfer rahasia atau cash money  saat makan malam di hotel bintang lima  dan disodori  ‘kue basah’ pelacur kelas menengah.  Pokoknya perputaran duit di kawasan  elektronik Glodok kalah deh. 

“Soal  jabatan strategis dibeberapa lembaga resmi pemerintah  anggota DPR juga banyak yang    ‘berlumuran’  rupiah  haram. Misalnya  kursi Gubernur BI, Pertamina  dan BUMN lainnya. Pokoknya banyak sekali kisah dramatisnya.  Kalau mau difilmkan  nggak cukup   tujuh episod.  Oh…ya belum lagi soal nepotisme. Anak,  cucu, kakak,  om dan tante bisa  jadi anggota Parlemen DPR,  padahal mereka tidak kompeten,” sambung pak Tommy dengan suara tinggi.

“Jadi,  buat apa ada DPR kalau hanya  membuat  negara dan  bangsa bapak jadi busuk,” tanyaku.

“Nggak tahu lah…. Saya hanya curhat doang sama  nak  Anton. Terus terang nak Anton waktu pemilu caleg  saya serba salah. Kalau golput dibilang anti demokrasi dan katanya ‘haram’. Kalau milih, baik calon yang saya kenal maupun tidak, sama sekali tidak ada  pengaruhnya  buat  kehidupan saya. Banyak calon terpilih lupa pemilihnya dan janjinya waktu kampanye, yang makin miskin rakyat yang makin kaya anggota  Dewan. Saya dari dulu  gini-gini  aja tuh,  nggak ada perubahan secara ekonomi. Mendingan nggak usah ada tuh  lembaga DPR ,” jawabnya pasrah dan frustrasi.

Dua jam  aku berkeliling di dalam gedung  DPR. Tak terasa perutku mulai terasa lapar dan aku meminta  pak Tommy untuk menunjukkan tempat makan yang enak dan nyaman di seputar kawasan Senayan. Dalam  hitungan menit aku meluncur keluar dari gedung DPR yang penuh ‘derita’ rakyat. Namanya juga negeri Indongawur.       

 

Hari Keempat, Kamis Sore, Pukul 15.30 WIB


Tak terasa,  sudah tiga hari aku berada di negeri Indongawur. Sedikit kesimpulan yang aku dapat ambil dari negeri aneh ini  yaitu hampir semuanya gaya kehidupannya  benar-benar diluar akal sehat logika. Tapi mau gimana lagi memang dari ‘sononya’  negeri ini memang ‘luar biasa.

Di hari ke empat ini, jadwalku mengunjungi Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indongawur.  Seperti  tiga hari sebelumnya,  pak Tommy gait ku sudah stand by di lobi hotel tempat ku menginap. Suasana sore sedikit mendung. Langit tampaknya sedikit tersaput awan hitam ditambah lagi angin yang sedikit kencang. Mudah-mudahan tidak hujan agar kunjunganku   ke Mabes Polri tidak  terganggu.

“Sore nak Anton sudah siap  berangkat,” kata Pak Tommy seraya bangun dari  lobi  hotel menghampiriku saat berjalan menuju pintu keluar.

“Siap komandan,” jawabku sedikit bergurau. Pak Tommy tersenyum kecil.

Sore ini  ada sesuatu yang sangat istimewa terutama penampilan pak Tommy. Dia  berpakaian batik bermotif burung garuda dengan warna kuning keemasan. Hati kecil ku bertanya apa yang membuat pak Tommy kali ini begitu resmi. Ingin kutanya hal ini padanya,  tapi...... ach tak usah lah.

“Pasti nak Anton kaget  melihat penampilan saya sore ini,”

suara pak Tommy memecah tanda tanya dalam pikiranku. Sedikit gugup aku berusaha menutupi muka ku yang bengong penuh pertanyaan.

“Ya begitulah pak,” jawabku singkat

“Masuk Mabes Polri di negeri ini agak sedikit menyeramkan dalam tanda kutip. Soalnya sudah jadi kebiasaan polisi sini  yang super curiga pada pada orang-orang yang masuk dengan penampilan yang biasa saja. Misalnya pakai celana jins, sepatu kets, pakai kaos dan bawa tas model rangsel.”

“Memang kenapa pak?”

“Kita pasti dicurigain mau melakukan tindak kriminal atau penampilan kita dianggap Kriminal. Padahal khan orang tidak harus dilihat dari penampilannya. Banyak penjahat memakai jas, memakai parfum impor,  sepatu dari Italia, dan dasi jasnya  dari kain sutera. Mereka waktu masuk pintu gerbang saja diberi hormat oleh polisi yang menjaga pintu masuk. Sampai lobi Mabes mereka  dikawal. Padahal justru mereka penjahat kelas ‘berat’. Ini yang membuat saya jadi berpakaian resmi. Jadi kunjungan kita tak dicurigai macam-macam.

“Oh…Begitu,” aku manggut-manggut. Pak Tommy terus melanjutkan ceritanya.

“Setahu saya di negeri ini hampir sebagian besar bisa dibeli dengan uang,  kemewahan harta dan penampilan keren.”

“Masak bisa begitu pak.Lantas gimana dengan kepastian hukum, keadilan dan hak azasi manusia?  Rakyat miskin  yang ngak punya uang gimana?”

“Pokoknya rakyat miskin jangan coba-coba bersentuhan dengan kasus hukum. Riwayat hidupnya pasti memilukan. Contohnya,  rakyat  yang nyolong  buah jambu dihukum 6 bulan. Seorang anggota DPR atau kejaksaan atau pejabat Polri sendiri yang nyata-nyata terbukti melakukan korupsi uang rakyat paling-paling dihukum cuma 3 bulan. Hebatnya lagi mereka bisa jadi tahanan kota yang bisa berkeliaran kemana-mana, Bahkan keluar negeri. Hukum di negeri ini sangat  berpihak kepada uang.”

Satu jam campur macet dan polusi udara yang pekat. Akhirnya kami tiba  Mabes Polri. Pak Tommy melapor dan menunjukkan surat kunjungan wisata dari negaraku. Sekitar 15 menit  barulah kami diizinkan untuk berkeliling dengan ditemani satu petugas polisi. 

 

Kesan pertama yang aku tangkap, gedung ini dari luar terlihat megah dan berwibawa. Tapi ketika aku masuk ke dalam ada sedikit rasa kengerian. Bukan karena interior ruangnya yang kaku tetapi lebih kepada mental oknum-oknum Polri ini yang seenaknya menggunakan otoritasnya untuk bermain-main dengan hukum. Padahal justru merekalah penjaga hukum agar tetap tegak  dan tidak pilik kasih.

Apa yang dikatakan Pak Tommy, sebelumnya pernah aku tahu dari berbagai berita di internet, Koran, televisi  dan radio bahwa  di negeri ini  polisi benar-benar menjadi musuh rakyat. Banyak kasus menguap tanpa bekas kalau menyangkut penguasa, pejabat atau cukong-cukong gendut. Kasus itu bukan hanya soal korupsi  duit rakyat  tetapi juga soal pembunuhan, pelecehan seks, penipuan gelar, penyalahgunaan  jabatan, pemerasan, skandal politik, kejahatan ekonomi, kejahatan  teknologi dan masih banyak kasus lainnya. Satu persatu  kasus menghilang tak tentu rimbanya. Kalau dibikin buku bisa sampai satu triliun halaman. Kita pasti keburu capek membacanya dan Akhirnya kita hanya bisa berdzikir untuk kesabaran dan kebaikan diri kita. Matahari mulai merapat menuju senja.  Sebentar lagi bedug Maghrib tiba, langkahku dan pak Tommy  keluar meninggalkan  gedung  Mabes Polri yang penuh cerita misteri.    



 

    

 

Comments

Popular posts from this blog

Menu Buka Puasa itu Bukan Takjil, Tapi Iftar [puasa hari ke-3]

Hampir sebagian besar kaum muslim di Indonesia, memahami kata takjil sebagai makanan atau minuman ringan untuk berbuka puasa. Sebenarnya istilah yang benar tentang menu untuk berbuka puasa bukan takjil, tetapi iftar. Sampai hari ini, pemahaman salah tentang takjil masih terus berlangsung. Takjil berarti menyegera (kamus Al Munawwir hal 900).  Takjil dalam konteks berpuasa, bila diadaptasi kedalam bahasa Indonesia mengandung arti menyegera berbuka puasa saat tiba waktunya (jangan ditunda-tunda). Takjil adalah bahasa Arab yang artinya penyegeraan, bersegera. Takjil berasal dari kata dasar ajjala, yu’ajjilu yang berarti menyegerakan atau mempercepat. Takjil adalah kata kerja, bukan kata benda. Jadi, arti kata takjil bukan makanan atau minuman. Kata yang tepat untuk menyebut makanan dan minuman saat berbuka puasa adalah Iftar. Dalam kamus KBBI, kata iftar diadaptasi dari bahasa Arab yang berarti berbuka puasa. Iftar menggambarkan makanan dan minuman, termasuk makanan utama seper

PROFIL PUBLIK: Wawan Kuswandi, Sosok Jurnalis dan Pemerhati Komunikasi Massa Berkarakter Friendly

PROFIL PUBLIK Wawan Kuswandi, Sosok Jurnalis dan Pemerhati Komunikasi Massa  Berkarakter Friendly Wawan Kuswandi adalah sosok jurnalis dan pemerhati komunikasi massa yang memiliki karakter friendly. Dalam jagat jurnalistik, Weka (panggilan sehari-hari Wawan di kalangan teman-teman pers) sudah berpetualang sekitar  20 tahun lebih hingga sekarang.  Mengawali karirnya sebagai kuli tinta, Wawan bekerja di harian MERDEKA, Jakarta (1995-2005), kemudian mengembara ke Radio SPORT FM 89,35, Jakarta (2007), Majalah TAJUK, Jakarta (2008), dan sejumlah media massa lainnya sebagai penulis lepas, seperti harian SUARA PEMBARUAN, BISNIS INDONESIA, MEDIA INDONESIA, MONETER INDONESIA, BERITA YUDHA, JAYAKARTA, PROPERTY AND THE CITY, GEOTIMES.ID, IBTimes.ID, PropertiTerkini.com, HomePoint.ID, PojokProperti.com dan sejumlah media online lainnya. Berkat pengalamannya yang panjang sebagai jurnalis, Wawan mendapat kepercayaan penuh untuk mengisi posisi EDITOR SENIOR DI NEWSNET ASIA (NNA) Jepang, selama 4 tahu

Aksi Demo Mobil Tronton Berakhir Damai antara Parung Panjang Bersatu dan Paguyuban Transforter

Proses musyawarah masyarakat Parung Panjang Bersatu dan Paguyuban Transforter dengan pejabat wilayah setempat, terkait operasional mobil tronton, berlangsung damai dan menghasilkan kesepakatan bersama.  indocomm (Jakarta), Aksi demo 20 November 2023 lalu yang dilakukan masyarakat Parung Panjang Bersatu, terkait jam operasional mobil tronton, memicu protes keras para sopir tronton, kernet, tukang tambal ban dan para pengusaha tambang Cigudeg. Sebelumnya, jam operasional mobil tronton dinilai mengganggu kenyamanan warga sekitar. Akhirnya terjadi aksi demo warga Parung Panjang Bersatu tanggal 20 November 2023 lalu. Aksi demo ini sebagai bentuk protes keras masyarakat terhadap lalu lalang mobil tronton. Namun, Aksi demo warga Parung Panjang Bersatu memicu protes para sopir tronton, kernet, tukang tambal ban dan para pengusaha tambang Cigudeg. Mereka melakukan aksi demo tandingan. Paska demo kedua belah pihak usai, Muspika Kecamatan Parung Panjang turun tangan  menertibkan jalur lintas yan