"Sampai saat ini kita hanya baca pertumbuhan ekonomi fantastis di Maluku Utara, tetapi kita juga perlu mendengar, bagaimana kesejahteraan, bagaimana pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Tidak boleh terjadi, sumber daya alam dikeruk, tetapi tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat di Maluku Utara. Ini tidak boleh."
Engelina juga mengatakan, pemerintah wajib memastikan kalau pertambangan nikel menyertakan masyarakat lokal. Sebab, tidak boleh terjadi, nikel masyarakat dikeruk begitu saja tanpa memberikan masyarakat peluang untuk menikmati kekayaan alamnya. Sebab, pertumbuhan ekonomi yang tinggi di Maluku Utara belum bisa menjawab kesejahteraan rakyat Maluku Utara.
“Apa artinya pertumbuhan ekonomi yang tinggi kalau tidak berdampak kepada pengentasan kemiskinan dan perbaikan kesejahteraan. Untuk itu, kita harus uji lagi apakah pertumbuhan itu meningkatkan kesejahteraan rakyat atau tidak?” kata Engelina Pattiasina di Jakarta, Minggu (4/2/2023).
Belum lama ini, jelas Engelina, Presiden Joko Widodo dalam Mandiri Investment Forum (MIF) Tahun 2023, di Jakarta pada 1 Februari 2023 lalu mengungkapkan pertumbuhan investasi yang sangat bagus di Indonesia selama tahun 2022. Presiden mengungkapkan, investasi di 2022 mencapai Rp 1.207 triliun.
Menurut Engelina, Presiden juga mengungkapkan dari pertumbuhan investasi itu sebesar 53 persen berada di luar Jawa dan 47 persen berada di Jawa. Pertumbuhan di luar Jawa itu terjadi di Sulawesi, baik di Maluku Utara, baik di Sumatra. Pertumbuhan investasi ini tentu sangat baik. Selain itu, beberapa bulan lalu juga, Presiden Joko Widodo mengungkapkan Pertumbuhan Ekonomi di Maluku Utara yang mencapai 27 persen yang secara spontan dianggap sebagai angka pertumbuhan tertinggi di dunia.
“Tetapi, sebenarnya ada satu Negara yang ledakan pertumbuhan ekonomi sangat tinggi mencapai 47 persen, yakni Guyana,” jelas Engelina.
Meski sedang “naik daun”, tutur Engelina, Guyana memetik pelajaran dari Venezuela yang dianggap gagal mengelola ekonomi, sehingga dari Negara yang kaya sumber daya alam terjebak dalam kondisi "Kutukan Sumber Daya Alam" yang mengakibatkan instabilitas politik dan kesulitan ekonomi.
Guyana tidak mau mengalami nasib seperti tiu, sehingga sejak dini memberikan perhatian terhadap ekonomi rakyat, pendidikan dan kesehatan, sehingga ketika suatu ketika terjadi kekayaan alam tidak lagi menjadi tumpuan, tetapi Negara sudah memiliki sumber daya manusia yang berkualitas, yang sejahtera karena prioritas terhadap hal yang mendasar sebagai sebuah Negara.
"Nah, dalam konteks Maluku Utara dengan pertumbuhan 27 persen ini, tentu sangat membanggakan, karena secara statistik angka ini semestinya menggambarkan perbaikan ekonomi rakyat di Maluku Utara. Semestinya, dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berdampak terhadap pendapatan masyarakat, yang dengan sendirinya mendorong daya beli masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehingga akan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Tetapi, apakah kernyataan di lapangan seperti itu,” kata Engelina.
Menurut mantan Anggota DPR RI ini, tentu semua berharap pertumbuhan ekonomi yang disampaikan itu membawa pengaruh signifikan dalam pengentasan kemiskinan dan meningkat kesejahteraan. Sebab, ketika pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan rakyat, maka tentu ada yang salah dalam upaya penanganan kesejahteraan.
Ketika situasi ini yang terjadi, katanya, maka sangat mungkin untuk memunculkan pertanyaan, apakah angka pertumbuhan ekonomi masih relevan sebagai indikasi untuk melihat kesejahteraan rakyat. Sebab, pertumbuhan 27 persen di Maluku Utara seolah tidak terasa secara nyata dalam peningkatan kesejahteraan rakyat. “Artinya, multiplier effect yang muncul akibat keberadaan pertambangan nikel misalnya di Maluku Utara tidak membawa dampak serius bagi ekonomi rakyat, tetapi hanya berdampak kepada segelintir pelaku ini,” kata Engelina.
Engelina menjelaskan, di satu sisi angka pertumbuhan ekonomi membanggakan tetapi di sisi yang lain, angka statistik seolah hanya merekam aktivitas ekonomi segelintir pelaku ekonomi untuk menggambarkan situasi ekonomi di Maluku Utara secara umum. Kalau ini yang terjadi, tentu tidak mengherankan kalau angka pertumbuhan ekonomi tidak berbanding lurus dengan perbaikan kesejahteraan.
Sesuai laporan ekonomi Maluku Utara yang dikeluarkan Bank Indonesia pada Agustus 2022, jelas Engelina, menunjukkan perkembangan ekonomi dari sisi penawaran yang mencatatkan pertumbuhan positif pada triwulan II 2022. Ada tiga lapangn usaha utama yang menjadi penyumbang PDRB terbesar di Maluku Utara, antara lain, industri pengolahan yang mencapai 114.45 persen, pertambangan yang mencapai 34.22 persen.
Dari data itu, kata Engelina, pertumbuhan ekonomi Maluku Utara (gabungan) dari 28,33 persen pada triwulan I 2022 menjadi 27,74 persen pada triwulan II 2022. Sangat jelas, data yang ada menunjukkan aktivitas ekonomi ditopang produksi smelter pirometalurgi maupun hidrometalurgi yang ada di Maluku Utara dan beberapa smelter yang mempengaruhi permintaan biji nikel bagi smelter yang beroperasi. Hal yang sama juga dipengaruhi tingginya permintaan biji nikel dari luar negeri.
Dia menjelaskan, selain Maluku Utara, Papua dan Sulawesi Tengah mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi ternyata ditopang juga akivitas ekonomi di hilirisasi komoditi hasil tambang. Hal itu patut menjadi perhatian, karena sumber daya alam, seperti nikel akan habis pada masanya, sehingga ketika aktivitas pertambangan saat ini tidak mampu memberikan dampak positif yang signifikan bagi kesejahteraan, maka masyarakat lokal akan menanggung beban kerusakan lingkungan saat ini dan di masa mendatang.
"Investor sebagai pengusaha akan dengan mudahk meninggalkan wilayah tambang ketika dipandang tidak lagi memberikan manfaat ekonomi, tetapi tidak demikian dengan masyarakat yang harus menanggung dampak pertambangan dan ini juga menjadi beban bagi generasi sekarang dan di masa mendatang,” kata Engelina.
Engelina menjelaskan, pihaknya mengikuti data yang disampaikan Christ Belseran (Mongabay 6 Desember 2022), Kabupaten seluas 227.683 hektar ini terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi mencapai 142.964,79 hektar alias sekitar 60% Halmahera Tengah jadi industri tambang.
Selain itu, Data AMAN Maluku Utara menunjukkan, konsesi pertambangan berada di kawasan hutan seluas 72.775 hektar. Kawasan itu terdiri atas hutan lindung Ake Kobe seluas 35.155 hektar, hutan produksi terbatas (HPT) seluas 20.210 hektar, hutan produksi 8.886 hektar, dan hutan produksi dapat dikonversi 8.524 hektar. Di wilayah-wilayah ini merupakan ruang hidup masyarakat adat.
"Data-data ini menunjukkan betapa berat beban yang ditanggung Maluku Utara. Saya kira, pemerintah tidak bisa membiarkan lingkungan dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga mengorbankan masyarakat adat. Tidak boleh terjadi Maluku Utara dikorbankan untuk kesejahteraan siapapun dia,” tegasnya.
Menurut Engelina, gejala bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi di Maluku Utara tercipta di atas kerusakan lingkungan yang parah sudah sangat kasat mata. Moloku Kie Raha, nama Maluku Utara, dalam bahasa adat, negeri yang memperkenalkan Nusantara kita ke dunia dengan kehebatan cengkehnya sekarang juga sangat kaya akan mineral tambangnya. Hampir 60% negeri ini dieksploitasi untuk tambang nikel saja. Belasan perusahaan sudah beroperasi di sana. Padahal Maluku Utara ini terdiri dari pulau-pulau kecil. Berbagai laporan dari masyarakat adat sudah dikirimkan ke pusat bahkan bulan Oktober lalu laporan dibawa ke PBB, Jenewa. Tetapi eksploitasi tambang tetap dilakukan demi menambal defisit APBN Indonesia.
Menurut Engelina, Maluku, Maluku Utara dan NTT, adalah pulau-pulau kecil yang bermunculan dari dalam laut akibat benturan beberapa lémpengan, dan juga akibat letusan gunung berapi bawan laut. Itulah yang membuat tanah di sana menjadi unik yang lalu menjadi “rumah” untuk rempah-rempah endemik seperti cengkih, pala, cendana. Juga menjadi “rumah” bagi biota laut yang endemik di daerah itu.
Engelina mengatakan, laporan menteri BUMN kepada Presiden bahwa lonjakan pertumbuhan investasi luar jawa sebesar 53% tentu disambut baik oleh masyarakat Indonesia. Artinya bagian pembangunan kue nasional sekarang lebih besar berada di luar jawa. Ini sejalan dengan Indonesia sentris Presiden Jokowi.
Tetapi yang harus diteropong lebih dalam adalah sektor apa yang membuat lonjakan pertumbuhan investasi itu. Sebagian besar adalah dari sektor pertambangan ; emas, batubara, nikel, minyak, gas dan sebagainya,” jelas Engelina.
Belum lagi, kata Engelina, kalau membaca keterangan dari Menteri ESDM Arifin Tasrif belum lama ini bahwa ditemukan potensi cadangan minyak dan gas raksasa di Blok Wamir, Papua, 25 miliar barel minyak dan 47 triliun kaki kubik (TFC) gas. Potensi sumber minyak raksasa ini ditemukan pula di Blok Seram. Luar biasa kekayaan daerah ujung timur Indonesia ini.
Engelina mengingatkan, pasal 33 UUD 1945 ayat (3) menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tentu, terutama masyarakat lokal di mana sumber daya alam itu berada. Dalam kenyataannya, jelas Engelina, sampai tahun 2022, laporan resmi BPS masih mengatakan bahwa empat provinsi termiskin ada di Indonesia Timur ; Papua, Papua Barat, Maluku dan NTT.
Untuk itu, kata Engelina, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, diharapkan benar-benar memprioritaskan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, khususnya masyarakat adat, di atas keuntungan pertumbuhan ekonomi 27 persen di Maluku Utara. Karena mereka tidak mungkin meninggalkan “tanah pusaka” yang menjadi warisan turun-temurun.
"Jangan sampai masyarakat lokal yang hidup turun-temurun secara damai dengan lingkungan alamnya menjadi korban dari kebutuhan masyarakat dunia, sementara masyarakat dibiarkan seolah tidak berhak atas lingkungan alam, keberlanjutan dan lingkungan yang sehat dan lestari. Ketika masyarakat diabaikan saat para pemburu nikel mengeruk alam di Maluku, maka hampir pasti masyarakat akan menjadi beban ketika para pemburu berpindah untuk berburu ke tempat lain. Untuk itu siapapun yang sedang berkuasa terlebih dahulu harus memastikan hak dan keselamatan masyarakat bersama anak dan cucu di kemudian hari.” tegasnya.
Bagi masyarakat lokal yang lingkungannya dieksploitasi, tutur Engelina, mungkin saja angka statistik pertumbuhan ekonomi tidak berarti apa-apa jika dibandingkan dengan pengorbanan dan beban yang akan ditanggung di kemudian hari. Untuk itu, sewajarnya para pelaku dan usaha dan pemerintah selaku pemberi kuasa kepada pelaku ekonomi untuk memberikan penjelasan seterang-terangnya mengenai kelestarian lingkungan, hak pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat lokal. Sebab, mereka berhak untuk menikmati kekayaan alam yang menjadi berkat dari Yang Maha Kuasa di atas wilayahnya.(redIC/17)
Comments
Post a Comment