Sejumlah analis politik memprediksi bahwa kemungkinan besar Jokowi akan menjadi calon tunggal di pilpres 2019 mendatang. Sah-sah saja setiap analis menyampaikan pendapatnya soal suksesi kepemimpinan nasional. Bukan tanpa alasan mereka bicara tentang calon tunggal, tentu ada argumen dan tolak ukur yang valid serta ilmiah.
Bahkan, dalam sejumlah survei yang dilakukan oleh beberapa lembaga survei independen, elektabilitas Jokowi dilaporkan masih tinggi dan tak tertandingi. Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto pun terseok-seok mengejar elektabilitas Jokowi.
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebutkan bahwa Presiden Jokowi adalah calon terkuat dalam pilpers 2019. Buktinya, hasil survey LSI menyebutkan bahwa sebanyak 70 persen rakyat puas dengan kinerja Jokowi.
Sampai saat ini, hanya ada tiga nama yang beredar yang disebut-sebut bisa menyaingi Jokowi, mereka ialah Gatot Nurmantyo, Prabowo Subianto dan Agus Harimurti Yudhoyono. Namun, seperti sudah disampaikan di atas, elektabilitas mereka masih sangat rendah di mata rakyat.
Pertanyaan menariknya ialah mengapa sejumlah partai politik (parpol) tidak memiliki ‘petarung’ yang mampu mengimbangi elektabilitas Jokowi? Jawaban sederhananya ialah Indonesia memang sedang mengalami krisis capres. Mengapa ini bisa terjadi? Lagi-lagi jawaban sederhananya adalah sejumlah parpol koalisi pendukung pemerintah maupun parpol koalisi oposisi (parpol yang berseberangan dengan pemerintah), gagal total dalam melakukan kaderisasi calon pemimpin nasional.
Kegagalan kaderisasi ini terjadi akibat pola rekrutmen parpol yang tidak berkualitas. Artinya parpol tidak memiliki standarisasi yang baik dalam merekrut kadernya, misalnya soal daya intelektual kader, integritas moral dan mental kader serta hubungan sosial komprehensif kader terhadap masyarakat.
Sesungguhnya, parpol wajib menciptakan dan menyiapkan kader sesuai standarisasi diatas untuk jangka waktu, minimal lima tahun dan maksimal sepuluh tahun. Parpol harus terus-menerus secara konsisten mempromosikan kadernya sesuai standar di atas kepada publik, sehingga rakyat punya pilihan baru terhadap calon pemimpin nasional.
Hal lainnnya lagi yang juga tidak kalah pentingnya ialah platform sejumlah partai banyak yang tidak jelas dan terarah untuk membangun bangsa ini secara politik. Justru yang terjadi ialah sejumlah parpol koalisi pendukung pemerintah maupun parpol koalisi oposisi, lebih mementingkan meraih kekuasaan semata dengan cara-cara yang tidak mencerdaskan dan menyehatkan kehidupan berpolitik rakyat.
Mungkin contoh yang paling mendekati soal kasus kehidupan politik yang tidak menyehatkan rakyat ialah seperti mahar politik dan penyebaran fitnah serta hoax di sosial media yang tujuannya untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintah. Kalau ini terus terjadi, maka sampai kapan rakyat akan pintar dan cerdas dalam berpolitik? Mari kita renungkan bareng-bareng.
Tahun 2019 merupakan momentum politik yang sangat tepat bagi semua parpol untuk sesegera mungkin mengedukasi ‘kesehatan’ politik rakyat. Selain itu, parpol juga harus secepatnya mengemban tugas ‘mulia’ mengkader manusia-manusia Indonesia untuk menjadi pemimpin nasional yang berkualitas secara moral, intelektual dan sosial. Parpol tak perlu lagi saling sikut dalam merebut kekuasaan hanya untuk kepentingannya sendiri yang pada akhirnya bisa menimbulkan konflik nasional. Berpolitik yang berpihak kepada bangsa dan negara lebih utama, dibandingkan berpolitik hanya sekadar merebut kekuasaan dengan mengatasnamakan rakyat.
Salam sruput teh tubruk bro…[Wawan Kuswandi]
Comments
Post a Comment