Dulu, bagi saya berbicara adalah hal yang biasa saja. Sedangkan berdo’a, setahu saya merupakan ritual yang dilakukan seseorang atau sekelompok massa dengan cara dan waktu-waktu tertentu.
Berbicara, topiknya bisa ngalor-ngidul. Sedangkan berdo’a merupakan proses komunikasi lahir dan bathin antara manusia dengan Tuhan. Jadi, antara berbicara dan berdo’a sangat jauh berbeda.
baru-baru ini, dalam ceramah sholat Jum’at saya mendapat pencerahan dari khotif tentang dimensi kata bicara dan do’a.
Betapa shocknya saya, ketika khotif mengatakan bahwa berbicara dan berdo’a hampir 100 persen sama maknanya. “Sebagai umat muslim, kita wajib hati-hati dalam berbicara karena berbicara itu mengandung do’a. Ada malaikat di sekitar kita yang mencatat semua pembicaraan kita,’’ ungkap khotif.
Sebenarnya, apa yang dikatakan khotif diatas bukanlah hal baru. Tiga hari yang lalu, Akbar, teman saya di kantor pernah berkata “Siapapun kita, sebaiknya kalau berbicara jangan sembarangan. Soalnya berbicara itu do’a,” ucapnya nyantai.
Saya tidak menggubrisnya. Perkataan Akbar menjadi luar biasa karena khotif sholat Jum’at mengatakan hal serupa. Jadi kesimpulannya, kalau saya berbicara yang baik-baik, maka saya sudah berdoa untuk kebaikan diri saya sendiri dan orang lain. Tapi, Kalau saya berbicara yang buruk-buruk, maka saya sudah berdoa untuk keburukan diri saya sendiri dan orang lain.
Dengan kata lain, obrolan atau berbicara bisa menjadi do’a. Lantas, kalau sebuah perkataan itu adalah do’a, apakah Tuhan akan mengabulkannya? Bisa ya, bisa juga tidak. Itu hak mutlak Tuhan. Dalam dimensi yang lebih luas, berbicara bukan hanya sekadar mengumbar kata-kata secara lisan, tetapi juga bisa tersaji melalui sebuah tulisan.
Mengingat pentingnya makna berbicara dan berdo’a, saya mulai berhati-hati bila berbicara dengan siapapun (tanpa kecuali). Saya berusaha belajar menahan diri dalam berucap, terutama ketika emosi sedang tidak stabil. Saya juga mulai mengurangi tutur kata berlebihan saat sedang bersendau-gurau dengan keluarga atau teman-teman. Saya masih ingat pepatah yang diajarkan guru bahasa Indonesia di kelas lima SD, ‘mulutmu harimaumu’. Saya pikir, pepatah itu masih sangat relevan hingga sekarang.
Munculnya konflik dalam pergaulan sosial, ternyata banyak disebabkan oleh obrolan, ucapan atau pembicaraan yang pada awalnya hanya bersifat gurauan semata. Namun, lambat laun bila gurauan itu berlebihan, mungkin saja direspon secara negatif oleh orang-orang yang terlibat dalam perbincangan. Semoga saja semua perkataan atau pembicaraan yang keluar dari saya dan Anda selalu yang baik-baik saja agar melahirkan kebaikan antarsesama. Wassalam...
Selamat berbuka puasa bro...[ Wawan Kuswandi ]
LIHAT JUGA:
@wawan_kuswandi
foto: Isrtimewa
Comments
Post a Comment