Skip to main content

ANALISIS POLITIK: Politisasi Agama Menguat, Extraordinary Political Crime

Menuju Pilpres 2024
Politisasi Agama Menguat
Extraordinary Political Crime

ANALISIS POLITIK

Oleh: Wawan Kuswandi
Pemerhati Komunikasi Massa
Founder THE WAWAN KUSWANDI FORUM
WA: 081289349614

Politisasi Agama

Parpol maupun kandidat para capres yang memanfaatkan simbol-simbol agama untuk kepentingan politiknya merupakan bentuk nyata POLITISASI AGAMA bukan POLITIK IDENTITAS.

Sebenarnya, POLITIK IDENTITAS mengandung makna positif yaitu setiap parpol mempunyai identitas (berciri nasionalis, agamis atau kerakyatan) masing-masing yang tertulis dalam platform maupun AD/ARTnya. Setiap parpol wajib mematuhi UU tentang politik yang berlaku dalam sebuah negara. POLITISASI AGAMA maknanya cenderung bersifat negatif seperti melecehkan atau menebar ujaran kebencian dengan memakai simbol-simbol agama yang tujuannya untuk membuat citra buruk lawan politik (parpol dan politisi).

Dalam eksekusinya, POLITISASI AGAMA dapat dilakukan dengan dua cara: Pertama, politisasi agama bertujuan memelihara toleransi antarsesama SARA (harmoni sosial). Kedua, politisasi agama bertujuan merusak toleransi antarsesama SARA (masuk dalam kategori kejahatan politik luar biasa atau extraordinary political crime).

Sejak tahun 2017 lalu hingga saat ini (menuju pilpres 2024), POLITISASI AGAMA cenderung dipakai parpol dan kandidat para capres untuk merusak toleransi antarsesama SARA. 

Nah, dalam artikel ini saya tidak akan memakai istilah politik identitas, karena maknanya sudah dijelaskan di atas. Saya lebih suka menggunakan istilah politisasi agama yang cenderung bersifat kejahatan politik luar biasa atau extraordinary political crime.

Masa Kritis Bangsa

Seluruh warga negara Indonesia (tanpa kecuali) serta pemangku kebijakan negara, harus menyadari bahwa pilpres 2024 merupakan masa kritis bangsa ini.  Apakah NKRI dan Pancasila akan tetap menjadi ‘harga mati’ atau ‘tewas’ oleh gerombolan oknum rakus kekuasaan yang kerap mengatasnamakan agama dan ngotot menawarkan ideologi khilafah? Mohon renungkan baik-baik. 

Tentu Anda masih ingat politisasi agama di pilkada Jakarta 2017 lalu. Saat itu, sejumlah ormas yang mengatasnamakan agama mayoritas berpolitik dengan memakai simbol-simbol agama. Mereka berhasil menggiring penganut agama mayoritas di Jakarta memilih Anies Baswedan. Ketika itu, politisasi agama dikemas dengan cara-cara biadab, seperti menebar ujaran kebencian, menabur hoax, membuat fitnah dan pembunuhan karakter terhadap calon gubernur pesaing Anies Baswedan.

Menurut saya, sejak tahun 2017 lalu hingga menuju pilpres 2024, politisasi agama akan terus menggelinding bagaikan bola salju. Kemungkinan besar, gerombolan oknum rakus kekuasaan siap menjadikan politisasi agama sebagai ‘bom waktu’ yang akan diledakan saat pelaksanaan pilpres 2024. Saya yakin, sebagian besar politisi nasional menyadari bahaya ini. Namun sayangnya, hati nurani mereka sudah terkubur oleh keserakahan berkuasa dan tidak peduli dengan kehancuran NKRI dan Pancasila.

Kasus Politisasi Agama

Sejak tahun 2017 lalu sampai sekarang, sudah terlalu banyak politisasi agama bertebaran, baik secara faktual dalam kehidupan masyarakat sehari-hari maupun di dunia maya (sosial media). Dari sekian banyak kasus politisasi agama, menurut saya ada tiga yang sangat menonjol yaitu: 

Pertama, Fatwa Haram Vaksin Covid 19. Seperti banyak diberitakan media massa, beberapa ulama memfatwakan bahwa vaksinasi dan imunisasi terhadap Covid 19 hukumnya haram dengan sejumlah alasan, mulai dari ancaman zat mengandung unsur babi hingga isu politik Yahudi. Fatwa ini langsung menimbulkan pro dan kontra, akibatnya sebagian besar masyarakat menolak vaksinasi dan imunisasi dengan alasan dosa. Namun faktanya, fatwa yang mengharamkan vaksinasi dan imunisasi Covid 19 ini, justru menyesatkan dan merugikan umat muslim. 

“Mereka yang memfatwakan vaksinasi dan imunisasi itu haram, justru sedang merusak atau melemahkan generasi Islam di masa yang akan datang,” hal itu ditegaskan ustadz Aam Amiruddin dalam seminar 'Imunisasi Untuk Kualitas Hidup Yang Lebih Baik' yang diselenggarakan Biofarma, Senin (15/12/2014) di Bandung. Aam menjelaskan, fatwa yang mengharamkan vaksin kerap dibuat para ulama atau kyai tanpa memahami, mengkaji kebenaran dan fakta-fakta vaksin secara ilmiah. Sudah menjadi rahasia umum kalau program vaksinasi dan imunisasi di tanah air seringkali diterpa kampanye hitam dari kelompok antivaksin. Kelompok ini menyebarkan isu-isu atau berita-berita bohong dan palsu yang tidak berdasarkan pada temuan atau data-data ilmiah. Biasanya, mereka ini memanfaatkan para ustadz, ulama atau kyai yang belum memahami secara benar tentang vaksin. (sumber: https://www.biofarma.co.id/en/latest-news/detail/kampanye-hitam-vaksin-rugikan-umat-islam)

Kedua, Kuliner Rendang Babi. Kasus kuliner olahan rendang babi menyedot perhatian umat muslim. Menu olahan bernama rendang dari daerah Padang itu, viral usai dua anggota DPR RI asal Sumatera Barat Andre Rosiade dan Guspardi mengkritik masakan rendang karena berbahan daging babi.

Andre mengatakan usaha kuliner itu menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Sergio pemilik rumah makan 'Babiambo' itu, akhirnya minta maaf kepada masyarakat karena membuat kegaduhan terkait masakan rendang babi. Sergio mengaku hanya mencoba mengambil peluang baru di dunia kuliner. (sumber: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20220611070547-20-807661/heboh-rendang-babi-pemilik-dipanggil-polisi-hingga-minta-maaf)

Perlu kita ketahui bersama, seluruh kuliner olahan nusantara yang telah lama beredar atau dikenal (dipasarkan) dan disukai masyarakat, maka secara langsung maupun tidak langsung, sifat kuliner olahan itu melebur menjadi milik publik (tanpa menghilangkan unsur sejarah, budaya serta asal-usul kuliner olahan itu). Jadi, bila masyarakat atau pengusaha kuliner ingin melakukan inovasi terhadap kuliner olahan (contohnya masakan rendang babi), boleh-boleh saja karena bertujuan untuk meningkatkan nilai ekonomis serta memenuhi selera publik non muslim. Jadi, tidak perlu dibatasi oleh hukum agama dan budaya masyarakat tertentu.

Ketiga, Minuman Beralkohol. Kasus ini muncul saat promosi minuman beralkohol di Holywings. Bagi pengunjung yang bernama Muhammad dan Maria bisa mendapat minuman beralkohol secara gratis tiap hari Kamis hanya dengan menunjukkan KTP atau kartu identitas lain. Akibat promosi ini, manajemen Holywings dilaporkan ke Polda Metro Jaya atas dugaan kasus penistaan agama.

"Terkait dengan viralnya unggahan kami (Holywings Indonesia) menyangkut promosi dengan menggunakan nama 'Muhammad & Maria', kami telah menindaklanjuti pihak tim promosi yang membuat promosi tersebut tanpa sepengetahuan manajemen Holywings Indonesia, dengan sanksi yang sangat berat," tulis Holywings melalui akun Instagramnya. (sumber: https://www.kompas.tv/article/302442/kronologi-promo-miras-muhammad-dan-maria-holywings-hingga-dilaporkan-ke-polda-metro)

Politisasi Agama

Ketiga kasus diatas, secara kebetulan (atau disetting?) berhubungan langsung dengan simbol-simbol agama mayoritas. Dalam pandangan saya (maaf bila keliru), adanya kasus-kasus viral yang terkait dengan simbol-simbol agama mayoritas merupakan bentuk politisasi agama. Apakah ketiga kasus diatas muncul secara kebetulan? Atau memang disetting sebagai pemanasan awal menuju pilpres 2024? Lagi-lagi mari kita renungkan bersama.

Setahu saya, hingga saat ini baik kandidat para capres maupun parpol tidak pernah secara tegas mendeklarasikan atau menandatangani fakta integritas menolak politisasi agama. Oleh karena itulah, politisasi agama akan tetap ada, bahkan lebih mengerikan di pilpres 2024.

Saya menduga, saat kampanye  pilpres 2024, politisasi agama akan diumbar secara membabi-buta oleh kandidat para capres tertentu yang tentunya didukung oleh parpol pengusungnya. Akibatnya, potensi konflik horizontal dan vertikal di masyarakat tak bisa dihindari. ‘Bom waktu’ politisasi agama akan meledak dahsyat. Ini sangat berbahaya dan mengerikan...!!! Tolong ini renungkan baik-baik.

Saya percaya, rakyat dari sabang sampai Merauke sudah tahu siapa aktor utama dan para pemain politisasi agama. Saya yakin, Pemerintah, aparat hukum (polisi) dan TNI juga sudah tahu. Namun, akankah kita hanya diam menunggu ‘bom waktu’ politisasi agama menghancurkan bangsa ini? Sekali lagi, mari kita renungkan bersama.

Perlu diketahui bersama bahwa suara umat muslim di Indonesia (karena mayoritas), tentu sangat potensial bagi parpol dan kandidat para capres untuk memenangkan pilpres maupun pilkada. Namun, kita jangan lupa bahwa mayoritas umat muslim juga bisa menjadi ‘bom waktu’ yang sangat berbahaya, apabila dimanfaatkan oleh gerombolan rakus kekuasaan melalui politisasi agama.

Mengamputasi Politisasi Agama

Ada sejumlah langkah ekstrim untuk mengamputasi politisasi agama. Untuk melakukannya, diperlukan keberanian seluruh elemen bangsa. Caranya ialah:

Pertama, Bawaslu harus tegas dan langsung memberikan sanksi diskualifikasi terhadap kandidat para capres atau parpol yang melakukan politisasi agama dalam aktivitas politiknya. Ketegasan sikap Bawaslu ini wajib dituangkan atau diatur dalam regulasi yang terkait dengan kampanye politik parpol maupun capres.

Kedua, Lembaga Tertinggi Negara MPR, segera mengeluarkan Ketepatan MPR (TAP MPR) yang berisi bahwa semua parpol maupun kandidat para capres wajib menjaga NKRI, UUD 1945, Pancasila dan dilarang mempolitisasi agama.

Ketiga, Aparat hukum (Polri) bersama TNI dan rakyat wajib bersikap tegas terhadap kandidat para capres maupun parpol yang melakukan politisasi agama.

Keempat, Seluruh ormas keagamaan, parpol dan kandidat para capres wajib mendeklarasikan kepada publik bahwa mereka menolak politisasi agama dan siap menerima sanksi hukum bila terjadi pelanggaran.

Kelima, seluruh ormas keagamaan, parpol dan kandidat para capres dilarang melakukan kampanye politisasi agama dalam pidato terbuka, video, gambar, foto, spanduk, pamflet dan lain-lain atau politisasi agama apapun yang terkait dengan penggunaan teknologi canggih.

Apabila kelima hal diatas dilakukan dengan sungguh-sungguh oleh semua elemen bangsa, maka peluang terjadinya politisasi agama dalam pilpres 2024 sangat kecil dan bahkan tidak akan terjadi. Beranikah bangsa ini melakukannya...? 

Jokowi Restui Prabowo? Ganjar Tunggu Perintah Megawati









Comments

Popular posts from this blog

[Satire] Anies Baswedan Pilih Mundur atau Dipecat

Kalau terbukti ada kejahatan anggaran yang disengaja dan terindikasi korupsi, maka Anies Baswedan harus memilih mundur sebagai Gubernur DKI Jakarta dan menerima sanksi hukum atau dipecat secara tidak hormat. Usai sholat Jum’at (01/11/2019) kemarin, saya langsung meluncur ke kantor Kementerian Dalam Negeri untuk bertemu dengan Mendagri Tito Karnavian. Rabu sebelumnya, saya sudah membuat janji untuk interview Tito Karnavian seputar kasus dugaan kejahatan anggaran RAPBD DKI Jakarta 2020. Berikut petikan wawancara singkatnya. Indocomm : Apa pendapat bapak terkait skandal harga lem senilai Rp82,8 miliar yang masuk dalam RAPBD 2020 sementara Pemprov DKI Jakarta? Tito Karnavian : Saya sedang mempelajarinya secara serius. Saya telah melakukan kordinasi dengan Ketua DPRD DKI, Menteri Keuangan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta KPK, tujuannya agar kita memiliki satu persepsi yang sama, sehingga bisa mengambil keputusan yang tepat dan jelas, apakah benar ada kejahatan anggar

GERBANG MEDIA NASIONAL: Liputan Aktual Top News, Top Sports, Top Kuliner, Top Travel ...!!!

@IndonesiaCommentTV TOP BINGITS DAH, SALUUUTT...!!!  https://youtu.be/2Q3DIvbUPpE?si=jWfSGaQc21taOHtj

Bursa Pasar Taruhan, Timnas U23 Indonesia Versus Timnas U23 Guinea, Ini Angka Perbandingannya...!!!

https://youtube.com/shorts/zGgyMsoZKkk?si=0wDTw5dTZQZi6ogu