Suasana euforia terpancar dari
wajah sejumlah pelajar SD di Jakarta ketika tubuhnya dibalut pakaian kebaya
adat dan rambut bersanggul saat memperingati hari lahir RA Kartini tanggal 21
April setiap tahun. Namun sayang, di
hari kelahirannya RA Kartini (21 April 1879)
justru malah Menangis. Apa yang Kartini
tangisi?
Kartini terdiam. Wajahnya tertunduk lunglai. Dua
bongkah airmatanya yang bening meleleh jatuh menyentuh bumi. Tak ada
sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Saya terdiam. Perlahan pikiran saya
menerawang mencoba mencari tahu apa yang membuat Kartini menangis sedih.
Tampak, begitu pedih jiwa dan raga
Kartini.
Gelap mulai rapat memeluk malam. Simponi desir angin dan
bebunyian binatang senja terdengar pelan
menyambut jejeran kilauan bintang yang menari di langit. Dialog imajiner saya
dengan Kartini tersendat. Saya tak sanggup lagi melanjutkan kongkow santai dengan
tokoh emansipasi ini. Saya tak berani berkata untuk menyapu isak tangisnya.
“Maaf,…saya tidak bisa
melanjutkan dialog ini,” suara lembut kartini terdengar lirih menyapu hening
yang tak bertepi. Saya hanya menganggukkan kepala sekejab tanpa berani memandang wajahnya.
“Saya akan menulis surat. Goresan
pena ini sebagai pengganti dialog imajiner Anda dengan saya. Tolong sampaikan
isi pesan surat ini kepada semua perempuan Indonesia,” ucapnya pelan. Saya masih terdiam. Kartini mulai menulis di hadapan saya sambil sesekali suara isak tangis
kecilnya merayap membelah sepi. Usai memberikan suratnya kepada saya,
Kartini pamit. Dia berjalan gontai memasuki sebuah pintu besar
berukir penuh cahaya yang menebarkan harum yang tidak pernah saya rasakan
sebelumnya. Kartini menghilang dari pandangan saya.
Untuk Perempuan Indonesia …
Saya bersyukur menjadi putri bangsa Indonesia yang penuh warna. Saya
percaya, perempuan Indonesia akan selalu
menjadi perempuan sejati dalam keluarga. Pelihara dan jagalah hak hakiki perempuan. Jadilah seorang ibu
yang ikhlas membimbing moral anak-anak Indonesia yang kelak bisa membawa kebermanfaatan hidup kepada sesama
makhluk ciptaan Tuhan.
Dampingilah suami dengan tulus dan sabar. Dekatkanlah
jiwa dan ragamu dengan ruh keluargamu. Jagalah dirimu dari gelombang persamaan hak dan drajat yang bisa
melupakan kodrat keperempuananmu. Tunaikanlah kewajibanmu untuk keluarga.
Ketahuilah bahwa emansipasi
yang kutitipkan kepadamu hanyalah sebuah
proses pelepasan diri dari kungkungan budaya.
Emansipasi bukanlah sebuah
kebebasan dan persamaan hak yang terlampau jauh dan melampaui batas raga
seorang perempuan. Jadilah perempuan Indonesia yang selalu
berarti bagi keluargamu untuk selama-lamanya. Semoga Sang Maha Cahaya meridhoi
semua perjalanan hidup perempuan Indonesia. Aamiin… Salam,
RA Kartini. [Wawan Kuswandi]
Comments
Post a Comment