Tak ada yang istimewa ketika Presiden Jokowi mengendarai motor Royal Enfield Bullet 350 cc bergaya chopper miliknya, melakukan touring bersama sejumlah bikers di Sukabumi, Minggu (8/4/2018) lalu.
Namun, momen itu menjadi sangat luar biasa efeknya karena mampu menyedot perhatian publik dan menjadi viral di sosial media. Jokowi berhasil mengidentifikasi dirinya sebagai presiden zaman now untuk generasi milenial.
“Senanglah yang jelas. Ya, memang biasanya tempatnya di Sukabumi, Pelabuhan Ratu. Jalannya juga sangat berkelok-kelok dan ingin sekaligus mengenalkan Pelabuhan Ratu (ke masyarakat),” kata Jokowi usai touring. Sebelumnya, Jokowi juga pernah naik motor saat meninjau jalan di Papua yang jaraknya sekitar 10 kilometer. Namun saat itu, Jokowi menaiki motor trail.
Touring Chopper Jokowi merupakan bentuk komunikasi politik untuk merangkul generasi milenial. Jokowi menerapkan Teori Empati dan Teori Homofili yang digagas Daniel Lerner (1978). Dalam teori ini disebutkan bahwa komunikasi yang ‘berempati’ yang dibangun atas ‘kesamaan’ (homofili) akan jauh lebih berpengaruh dan efektif. Proses ‘empati’ dilakukan dengan cara menyelami jalan pikiran target penerima informasi yang disampaikannya.
Sedangkan homofili dilakukan misalnya dengan melakukan pemberian informasi kepada massa yang memiliki kesamaan usia, ras, agama, ideologi, pandangan politik, dan sebagainya. Dengan teori ini, Jokowi berhasil menembus empati dan kesamaan dirinya dengan generasi milenial melalui motor chopper yang digandrungi anak muda.
Bukan Jokowi namanya, kalau tidak bisa membuat marketing politik kekinian. Tentu saja, mengendarai sepeda motor bergaya anak muda menjadi salah satu bagian dari marketing politiknya. Mungkin, gaya marketing politik yang dilakukan Jokowi ini, tidak pernah terpikirkan oleh banyak orang, termasuk staf dan jajaran menteri di kabinetnya.
Marketing politik bergaya generasi milenial ini bukanlah pencitraan seperti digembar-gemborkan oleh kelompok oposisi. Justru dengan mengendarai motor, Jokowi bisa melihat keadaan kota yang disinggahinya secara langsung tanpa ada rekayasa penataan kota, seperti yang pernah dilakukan oleh sejumlah presiden terdahulu.
Jokowi ingin melihat lebih dekat kehidupan masyarakat, seperti di Papua maupun Sukabumi. Bukan tidak mungkin, Jokowi akan terus mengendarai motor untuk meninjau sejumlah daerah di wilayah Indonesia. Dengan rutinnya mengunjungi berbagai daerah di Indonesia, Jokowi sadar betul bahwa dia sedang melakukan komunikasi politik dengan menerapkan teori Informasi dan Nonverbal yang dikemukakan B. Aubrey Fisher (1990). Dalam teori itu disebutkan bahwa bertindak sama dengan berkomunikasi.
Dalam hal politik, melakukan tindakan politik sama dengan melakukan komunikasi politik. Tindakan dalam komunikasi politik dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh masyarakat yang melihatnya. Pola tindakan itulah yang kemudian dipelajari sebagai pedoman untuk menentukan tindakan komunikasi politik yang dilakukan.
Pola tersebut dijadikan sebagai prediksi reaksi yang akan terjadi kedepannya. Nah, dengan melihat reaksi masyarakat yang dikunjunginya, Jokowi bisa memprediksi apa yang akan dilakukannya dan tentunya akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Marketing politik lainya yang juga sudah dilakukan Jokowi ialah dia secara kontinyu mendekati kelompok-kelompok islam dengan melakukan kunjungan ke pesantren-pesantren, sekaligus bersilaturrahim dengan sejumlah tokoh agama.
Dalam mendekati kalangan islam, Jokowi juga telah melakukan komunikasi politik dengan cara mengaplikasikan teori fenomenologis yang dipelopori Alfred Schutz (1899-1959). Dalam teori ini, digambarkan bahwa peran kepribadian politik seseorang akan lebih dapat dipahami dengan melukiskan peranan langsung orang tersebut.
Fokus teori itu ialah ingin melihat subjektivitas seseorang dalam menilai sebuah peristiwa yang terjadi melalui perasaan, sensasi, fantasi. Dengan teori ini Jokowi ingin melihat secara langsung kebutuhan dan perasaan kelompok islam dalam kepentingan politik.
Mungkin, Jokowi merupakan satu-satunya sosok presiden yang sangat sedikit sekali melakukan marketing politik melalui pernyataan atau wacana. Jokowi lebih cenderung melakukan politik aksi dan reaksi sebagai bentuk perhatiannya kepada rakyat. Seperti kita ketahui, saat ini sejumlah politisi nasional sedang tren melakukan manuver politik dengan cara mengeluarkan wacana atau pernyataan yang sifatnya provokatif.
Namun, Jokowi tak pernah terpengaruh oleh berbagai pernyataan provokatif yang bertebaran menyerang dirinya. Dia santai saja. Bahkan, kalaupun Jokowi harus bereaksi terhadap pernyataan provokatif, dia meresponsnya dengan tenang dan tidak emosional. Contohnya ialah ketika Prabowo Subianto mengatakan bahwa Indonesia akan bubar tahun 2030, Jokowi menanggapinya dengan santai, dingin, dan malah mengajak rakyat untuk bersikap optimis.
Artikel ini sudah terbit di geotimes.id, Rabu 11 April 2018
https://geotimes.co.id/opini/touring-chopper-di-sukabumi-dan-komunikasi-politik-jokowi/
Namun, momen itu menjadi sangat luar biasa efeknya karena mampu menyedot perhatian publik dan menjadi viral di sosial media. Jokowi berhasil mengidentifikasi dirinya sebagai presiden zaman now untuk generasi milenial.
“Senanglah yang jelas. Ya, memang biasanya tempatnya di Sukabumi, Pelabuhan Ratu. Jalannya juga sangat berkelok-kelok dan ingin sekaligus mengenalkan Pelabuhan Ratu (ke masyarakat),” kata Jokowi usai touring. Sebelumnya, Jokowi juga pernah naik motor saat meninjau jalan di Papua yang jaraknya sekitar 10 kilometer. Namun saat itu, Jokowi menaiki motor trail.
Touring Chopper Jokowi merupakan bentuk komunikasi politik untuk merangkul generasi milenial. Jokowi menerapkan Teori Empati dan Teori Homofili yang digagas Daniel Lerner (1978). Dalam teori ini disebutkan bahwa komunikasi yang ‘berempati’ yang dibangun atas ‘kesamaan’ (homofili) akan jauh lebih berpengaruh dan efektif. Proses ‘empati’ dilakukan dengan cara menyelami jalan pikiran target penerima informasi yang disampaikannya.
Sedangkan homofili dilakukan misalnya dengan melakukan pemberian informasi kepada massa yang memiliki kesamaan usia, ras, agama, ideologi, pandangan politik, dan sebagainya. Dengan teori ini, Jokowi berhasil menembus empati dan kesamaan dirinya dengan generasi milenial melalui motor chopper yang digandrungi anak muda.
Bukan Jokowi namanya, kalau tidak bisa membuat marketing politik kekinian. Tentu saja, mengendarai sepeda motor bergaya anak muda menjadi salah satu bagian dari marketing politiknya. Mungkin, gaya marketing politik yang dilakukan Jokowi ini, tidak pernah terpikirkan oleh banyak orang, termasuk staf dan jajaran menteri di kabinetnya.
Marketing politik bergaya generasi milenial ini bukanlah pencitraan seperti digembar-gemborkan oleh kelompok oposisi. Justru dengan mengendarai motor, Jokowi bisa melihat keadaan kota yang disinggahinya secara langsung tanpa ada rekayasa penataan kota, seperti yang pernah dilakukan oleh sejumlah presiden terdahulu.
Jokowi ingin melihat lebih dekat kehidupan masyarakat, seperti di Papua maupun Sukabumi. Bukan tidak mungkin, Jokowi akan terus mengendarai motor untuk meninjau sejumlah daerah di wilayah Indonesia. Dengan rutinnya mengunjungi berbagai daerah di Indonesia, Jokowi sadar betul bahwa dia sedang melakukan komunikasi politik dengan menerapkan teori Informasi dan Nonverbal yang dikemukakan B. Aubrey Fisher (1990). Dalam teori itu disebutkan bahwa bertindak sama dengan berkomunikasi.
Dalam hal politik, melakukan tindakan politik sama dengan melakukan komunikasi politik. Tindakan dalam komunikasi politik dapat ditafsirkan berbeda-beda oleh masyarakat yang melihatnya. Pola tindakan itulah yang kemudian dipelajari sebagai pedoman untuk menentukan tindakan komunikasi politik yang dilakukan.
Pola tersebut dijadikan sebagai prediksi reaksi yang akan terjadi kedepannya. Nah, dengan melihat reaksi masyarakat yang dikunjunginya, Jokowi bisa memprediksi apa yang akan dilakukannya dan tentunya akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat.
Marketing politik lainya yang juga sudah dilakukan Jokowi ialah dia secara kontinyu mendekati kelompok-kelompok islam dengan melakukan kunjungan ke pesantren-pesantren, sekaligus bersilaturrahim dengan sejumlah tokoh agama.
Dalam mendekati kalangan islam, Jokowi juga telah melakukan komunikasi politik dengan cara mengaplikasikan teori fenomenologis yang dipelopori Alfred Schutz (1899-1959). Dalam teori ini, digambarkan bahwa peran kepribadian politik seseorang akan lebih dapat dipahami dengan melukiskan peranan langsung orang tersebut.
Fokus teori itu ialah ingin melihat subjektivitas seseorang dalam menilai sebuah peristiwa yang terjadi melalui perasaan, sensasi, fantasi. Dengan teori ini Jokowi ingin melihat secara langsung kebutuhan dan perasaan kelompok islam dalam kepentingan politik.
Mungkin, Jokowi merupakan satu-satunya sosok presiden yang sangat sedikit sekali melakukan marketing politik melalui pernyataan atau wacana. Jokowi lebih cenderung melakukan politik aksi dan reaksi sebagai bentuk perhatiannya kepada rakyat. Seperti kita ketahui, saat ini sejumlah politisi nasional sedang tren melakukan manuver politik dengan cara mengeluarkan wacana atau pernyataan yang sifatnya provokatif.
Namun, Jokowi tak pernah terpengaruh oleh berbagai pernyataan provokatif yang bertebaran menyerang dirinya. Dia santai saja. Bahkan, kalaupun Jokowi harus bereaksi terhadap pernyataan provokatif, dia meresponsnya dengan tenang dan tidak emosional. Contohnya ialah ketika Prabowo Subianto mengatakan bahwa Indonesia akan bubar tahun 2030, Jokowi menanggapinya dengan santai, dingin, dan malah mengajak rakyat untuk bersikap optimis.
Artikel ini sudah terbit di geotimes.id, Rabu 11 April 2018
https://geotimes.co.id/opini/touring-chopper-di-sukabumi-dan-komunikasi-politik-jokowi/
Comments
Post a Comment