Potensi perpecahan diantara dua kubu elit politik PAN tak bisa dihindarkan lagi. Amien Rais dengan seenaknya dan seyakin-yakinnya menegaskan bahwa PAN mendukung Prabowo Subianto sebagai capres di pilpres 2019 mendatang.
Sebelumnya, Amien menuduh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan telah melakukan sandiwara politik. "Saya lebih tahu dari pak Zul (Zulkifli Hasan) karena saya mendirikan. Saya keliling kemana-mana, umat PAN di bawah emoh Jokowi (Joko Widodo), titik," kata Ketua Dewan Kehormatan PAN ini di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 26 April 2018 lalu.
Menanggapi pernyataan Amien yang keras itu, Zulkifli justru tidak meladeninya. Zulkifli malah mengatakan bahwa PAN masih membuka kemungkinan untuk berkoalisi dengan kubu Jokowi atau Prabowo, bahkan kini PAN berkoalisi dengan Partai Idaman, pimpinan Rhoma Irama.
Zulkifli menyebut peluang Jokowi untuk menang dalam pilpres 2019 sangat kuat. "Kami masih belum memutuskan arah dukungan. Masih terbuka dengan calon manapun,” ujarnya. Statemen bersayap Zulkifli ini, jelas mencerminkan bahwa PAN menolak penyataan Amien dan kemungkinan besar mendukung Jokowi.
Seperti diketahui, sampai saat ini, PAN belum secara resmi memutuskan mendukung Prabowo sebagai capres dalam pilpres 2019. Bahkan yang mengejutkan, sebagian besar elit PAN justru diduga lebih cenderung (boleh juga dikatakan membelot) ingin PAN bergabung dengan koalisi parpol yang mengusung Jokowi.
Hal lainnya lagi yang juga bisa menjadi indikator kuat bahwa elit politik PAN mendukung Jokowi ialah belum adanya sedikitpun wacana bahwa PAN sepakat dengan PKS untuk mendukung Prabowo. PAN diduga kuat kecewa dengan PKS yang sudah mengajukan sembilan nama untuk cawapres Prabowo. PAN merasa ‘dicuekin’ karena PKS tidak melakukan kordinasi politik terlebih dahulu kepada PAN, soal pengajuan nama-nama cawapres ini.
Politik Positioning
Gaya komunikai politik Amien Rais yang meletup-letup, soal PAN mendukung Prabowo, sebenarnya Amien bertujuan ingin menciptakan Positioning Image PAN atau dalam bahasa zaman now-nya ialah Amien sedang menebar politik pencitraan untuk PAN. Politik pencitraan ini didasari oleh teori positioning yang banyak diterapkan dalam ilmu pemasaran. Dengan memakai teori ini, Amien ingin menguatkan persepsi publik untuk mendukung Prabowo. Target Amien Rais ialah dia ingin publik menjadikan PAN sebagai rujukan politik rakyat dalam pilpres 2019 mendatang.
Teori Positioning (seperti dikemukanan Fanggidae, 2006) juga bisa diartikan bahwa Amien sedang memainkan sebuah strategi bahwa rakyat akan mendapatkan manfaat bila mendukung PAN, dibanding dengan mendukung parpol lain. Teori positioning ini sengaja dibangun Amien untuk meraih kepercayaan rakyat terhadap PAN.
Untuk merangkul rakyat, Amien juga menerapkan teori STP (Segmenting, Targeting, Positioning) yang digagas Philip Kotler (2003). Amien ingin mengubah pilihan politik rakyat yang heterogen menjadi homogen yaitu bersama PAN mendukung Prabowo.
Dengan menerapkan teori-teori di atas, maka wajar saja kalau Amien mencoba menginfiltrasi persepsi rakyat dengan terus melakukan propaganda politik secara agitatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), propaganda diartikan sebagai bentuk penerangan baik, benar atau salah yang sengaja dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Sedangkan agitatif merupakan bentuk hasutan kepada orang banyak untuk melakukan sesuatu. Hal ini biasa dilakukan oleh tokoh atau aktivis partai politik. Benarkah Amien melakukan semua teori di atas? Hanya dia yang tahu.
Terlepas dari sejumlah uraian teori di atas, terjadinya konflik internal di tubuh PAN ini akan mengakibatkan tiga dampak negatif yaitu:
Pertama, para pendukung PAN di arus bawah menilai bahwa konflik internal ini sebagai wujud tidak solidnya elit politik PAN. Belum adanya deklarasi resmi PAN tentang siapa capres yang diusung, membuat peta politik PAN tahun 2019 semakin kabur. Akibatnya, para pendukung PAN bisa membelot ke parpol lain atau memilih golput.
Kedua, perpecahan di tingkat elit politik PAN, secara langsung maupun tak langsung, membuat parpol lain, terutama PKS dan Gerindra ragu untuk mengajak PAN berkoalisi. Artinya, suara PAN tidak total mendukung Prabowo.
Ketiga, elektabilitas PAN mungkin akan semakin merosot dan tidak punya pilihan lain. Jalan satu-satunya ialah ikut bergabung bersama parpol koalisi pendukung Jokowi dengan harapan elektabilitas PAN kembali meningkat.
Perpecahan dan konflik internal di tubuh PAN, diprediksikan juga akan menguntungkan koalisi parpol pendukung Jokowi. Sedangkan bagi PKS dan Gerindra, konflik internal PAN jelas-jelas akan sangat merugikan, terutama dalam perolehan suara dukungan. Kekuatan koalisi PKS dan Gerindra (bila memang terjadi) diduga tetap akan sulit untuk memenangkan Prabowo di pilpres 2019.
Salam sruput teh tubruk bro...[Wawan Kuswandi]
www.facebook.com/INDONESIAComment/
plus.google.com/+INDONESIAComment
Sebelumnya, Amien menuduh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan telah melakukan sandiwara politik. "Saya lebih tahu dari pak Zul (Zulkifli Hasan) karena saya mendirikan. Saya keliling kemana-mana, umat PAN di bawah emoh Jokowi (Joko Widodo), titik," kata Ketua Dewan Kehormatan PAN ini di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 26 April 2018 lalu.
Menanggapi pernyataan Amien yang keras itu, Zulkifli justru tidak meladeninya. Zulkifli malah mengatakan bahwa PAN masih membuka kemungkinan untuk berkoalisi dengan kubu Jokowi atau Prabowo, bahkan kini PAN berkoalisi dengan Partai Idaman, pimpinan Rhoma Irama.
Zulkifli menyebut peluang Jokowi untuk menang dalam pilpres 2019 sangat kuat. "Kami masih belum memutuskan arah dukungan. Masih terbuka dengan calon manapun,” ujarnya. Statemen bersayap Zulkifli ini, jelas mencerminkan bahwa PAN menolak penyataan Amien dan kemungkinan besar mendukung Jokowi.
Seperti diketahui, sampai saat ini, PAN belum secara resmi memutuskan mendukung Prabowo sebagai capres dalam pilpres 2019. Bahkan yang mengejutkan, sebagian besar elit PAN justru diduga lebih cenderung (boleh juga dikatakan membelot) ingin PAN bergabung dengan koalisi parpol yang mengusung Jokowi.
Hal lainnya lagi yang juga bisa menjadi indikator kuat bahwa elit politik PAN mendukung Jokowi ialah belum adanya sedikitpun wacana bahwa PAN sepakat dengan PKS untuk mendukung Prabowo. PAN diduga kuat kecewa dengan PKS yang sudah mengajukan sembilan nama untuk cawapres Prabowo. PAN merasa ‘dicuekin’ karena PKS tidak melakukan kordinasi politik terlebih dahulu kepada PAN, soal pengajuan nama-nama cawapres ini.
Politik Positioning
Gaya komunikai politik Amien Rais yang meletup-letup, soal PAN mendukung Prabowo, sebenarnya Amien bertujuan ingin menciptakan Positioning Image PAN atau dalam bahasa zaman now-nya ialah Amien sedang menebar politik pencitraan untuk PAN. Politik pencitraan ini didasari oleh teori positioning yang banyak diterapkan dalam ilmu pemasaran. Dengan memakai teori ini, Amien ingin menguatkan persepsi publik untuk mendukung Prabowo. Target Amien Rais ialah dia ingin publik menjadikan PAN sebagai rujukan politik rakyat dalam pilpres 2019 mendatang.
Teori Positioning (seperti dikemukanan Fanggidae, 2006) juga bisa diartikan bahwa Amien sedang memainkan sebuah strategi bahwa rakyat akan mendapatkan manfaat bila mendukung PAN, dibanding dengan mendukung parpol lain. Teori positioning ini sengaja dibangun Amien untuk meraih kepercayaan rakyat terhadap PAN.
Untuk merangkul rakyat, Amien juga menerapkan teori STP (Segmenting, Targeting, Positioning) yang digagas Philip Kotler (2003). Amien ingin mengubah pilihan politik rakyat yang heterogen menjadi homogen yaitu bersama PAN mendukung Prabowo.
Dengan menerapkan teori-teori di atas, maka wajar saja kalau Amien mencoba menginfiltrasi persepsi rakyat dengan terus melakukan propaganda politik secara agitatif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), propaganda diartikan sebagai bentuk penerangan baik, benar atau salah yang sengaja dikembangkan dengan tujuan meyakinkan orang agar menganut suatu aliran, sikap, atau arah tindakan tertentu. Sedangkan agitatif merupakan bentuk hasutan kepada orang banyak untuk melakukan sesuatu. Hal ini biasa dilakukan oleh tokoh atau aktivis partai politik. Benarkah Amien melakukan semua teori di atas? Hanya dia yang tahu.
Terlepas dari sejumlah uraian teori di atas, terjadinya konflik internal di tubuh PAN ini akan mengakibatkan tiga dampak negatif yaitu:
Pertama, para pendukung PAN di arus bawah menilai bahwa konflik internal ini sebagai wujud tidak solidnya elit politik PAN. Belum adanya deklarasi resmi PAN tentang siapa capres yang diusung, membuat peta politik PAN tahun 2019 semakin kabur. Akibatnya, para pendukung PAN bisa membelot ke parpol lain atau memilih golput.
Kedua, perpecahan di tingkat elit politik PAN, secara langsung maupun tak langsung, membuat parpol lain, terutama PKS dan Gerindra ragu untuk mengajak PAN berkoalisi. Artinya, suara PAN tidak total mendukung Prabowo.
Ketiga, elektabilitas PAN mungkin akan semakin merosot dan tidak punya pilihan lain. Jalan satu-satunya ialah ikut bergabung bersama parpol koalisi pendukung Jokowi dengan harapan elektabilitas PAN kembali meningkat.
Perpecahan dan konflik internal di tubuh PAN, diprediksikan juga akan menguntungkan koalisi parpol pendukung Jokowi. Sedangkan bagi PKS dan Gerindra, konflik internal PAN jelas-jelas akan sangat merugikan, terutama dalam perolehan suara dukungan. Kekuatan koalisi PKS dan Gerindra (bila memang terjadi) diduga tetap akan sulit untuk memenangkan Prabowo di pilpres 2019.
Salam sruput teh tubruk bro...[Wawan Kuswandi]
www.facebook.com/INDONESIAComment/
plus.google.com/+INDONESIAComment
Comments
Post a Comment