Legalitas jabatan wapres yang dipegang MA (kalau Jokowi menang), tentu akan menjadi alat utama dan teramat penting bagi MA untuk melakukan tindakan atau membuat kebijakan strategis yang berkaitan dengan keberadaan sejumlah ormas agama radikal.
Dipilihnya KH Ma’ruf Amin (MA) sebagai cawapres oleh Jokowi, sampai hari ini masih terus menuai kontroversi dari sebagian kecil masyarakat. Tapi, kontroversi itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap konstituen sembilan parpol pendukung dan pengusung Jokowi.
Terlalu naif, bila kita secara tergesa-gesa langsung menyimpulkan bahwa kemunculan golputers bisa mengurangi suara dukungan terhadap pasangan Jokowi-Amin. Belum ada indikator yang jelas, resmi dan pasti yang bisa membuktikan secara otentik dan deskriptif bahwa golputers yang sudah banyak disebut-sebut di sosial media dan media mainstream, bisa mengikis suara Jokowi-Amin.
Dalam setiap pemilu pilkada maupun pilpres, kaum golputers pasti selalu ada, tapi keberadaannya tidak signifikan terhadap kekalahan atau kemenangan dari setiap pasangan calon pemimpin nasional (pilkada maupun pilpres).
Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas soal golputers (mungkin pada artikel berikutnya). Di kesempatan ini, saya hanya akan mengupas sedikit saja, tentang dampak politis dengan munculnya nama MA sebagai cawapres Jokowi.
Kalkulasi Politik
MA sebagai salah satu tokoh sepuh yang saat ini masih memimpin MUI sekaligus sebagai Rais Aam PBNU, memang bukan sosok yang istimewa dalam bingkai politik nasional. Namun, jabatan penting MA di kelembagaan seperti MUI dan PBNU itulah yang menjadikan seorang MA patut untuk diperhitungkan dalam kalkulasi politik di kontestasi pilpres 2019 mendatang.
Seperti kita ketahui, dalam pilkada DKI Jakarta beberapa waktu, politik identitas (agama, khususnya islam ) yang ‘digoreng’ oleh sejumlah kelompok tertentu secara massif, telah menorehkan sejarah buruk dan busuk saat kontestasi calon pemimpin DKI Jakarta. Politik identitas yang diselewengkan menjadi politik yang mengumbar kebencian dan fitnah itu, hampir saja menyulut konflik antar pendukung dan bisa berujung kepada pecahnya NKRI. Akibatnya, politik identitas mendapat cap negatif dari semua elemen bangsa. Saat itu, politik identitas dinilai begitu mengerikan dan menyeramkan.
Nah, kembali kepada MA, kenapa dia dipilih untuk menduduki posisi cawapres? Mungkin saja, ini sebagai jawaban antisipatif Jokowi untuk ‘meluruskan’ politik identitas yang diselewengkan oleh sejumlah kelompok tertentu saat pilkada DKI Jakarta. Jokowi tidak ingin peristiwa kelam di pilkada DKI Jakarta terulang kembali di pilpres 2019. Saya percaya, Jokowi akan menunjukkan kepada rakyat dan para pesaing politiknya, PKS, PAN, Gerindra dan Demokrat bahwa politik identitas itu tidak harus dilakukan dengan cara-cara biadab, bejad, amoral dan intoleransi.
Kebijakan Strategis
Jokowi ingin MA sebagai wapresnya mampu berperan dalam menerapkan politik identitas yang sejuk, damai, aman, dan tetap berada dalam koridor hukum, menjaga toleransi sekaligus memperkuat rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Di sinilah MA akan mengikusertakan gerbong MUI dan NU untuk melaksanakan politik identitas dengan pola-pola yang bijaksana dan tetap menjaga persaudaraan antar SARA sesuai dengan ajaran islam.
Sampai di sini jelas, keberadaan Prabowo, SBY, PKS dan PAN akan tamat, bila saja mereka masih mencoba memainkan politik identitas (agama) dengan cara-cara yang merusak kerukunan antar umat beragama maupun mengadu domba isu SARA lainnya. PBNU sebagai ormas yang cukup besar di Indonesia secara langsung maupun tidak langsung tentu akan berada dalam barisan MA. Hal yang sama juga pasti akan dilakukan oleh MUI.
Saya meyakini, sejumlah ormas berbasis agama yang selama ini dikeluhan publik karena sering melakukan tindakan anarkis serta melakukan provokasi identitas agama secara radikal, akan tamat ditangan seorang MA dengan cara-cara yang persuasif dan komunikatif.
Legalitas jabatan wapres yang dipegang MA (kalau Jokowi menang), tentu akan menjadi alat utama dan teramat penting bagi MA untuk melakukan tindakan atau membuat kebijakan strategis yang berkaitan dengan keberadaan sejumlah ormas agama radikal. Selama ini, kelembagaan MUI dan PBNU, tidak cukup bagi seorang MA untuk melakukan aktualisasi politik pragmatis sekaligus mengambil tindakan praktis dalam melakukan ‘perlawanan’ terhadap kelompok radikal berbasis agama maupun sejumlah parpol yang dengan seenaknya ‘memainkan’ isu agama, hanya untuk merebut kekuasaan dengan cara-cara merusak persatuan dan kesatuan bangsa.
Jadi, keberadaan MA sebagai wapres, bukan lagi hanya semata-mata sebagai alat untuk meredam politik identitas negatif di republik ini, tapi juga berperan besar untuk ‘mengubur’ kelompok, individu, atau ormas yang coba-coba ingin merusak Indonesia dengan isu SARA. MA juga tentu akan meluruskan politik identitas negatif yang salah kaprah dengan politik identitas positif yang menghormati SARA. Kita tunggu saja gebrakan MA.
Salam sruput teh tubruk bro…[ Wawan Kuswandi ]
BACA JUGA:
indonesiacommentofficial
@INDONESIAComment
@wawan_kuswandi
geotimes.co.id
Foto: Istimewa
Foto: Istimewa
Comments
Post a Comment