Hampir sebagian besar warga Jakarta pasti pernah melihat pengemis anak-anak atau pengamen, entah di jalan raya, lampu merah, dalam angkutan umum atau
trotoar. Anak-anak yang mengemis di jalanan berusia antara 5 sampai 13 tahun.
Hanya dengan bermodalkan tepuk tangan dan
kantung plastik bekas bungkus gula-gula, mereka tak segan-segan memohon belas
kasihan kepada para pejalan kaki, pengendara mobil dan motor serta warung tenda. Terkadang mereka bernyanyi ala kadarnya. Tampilan fisik dan pakaian
mereka dekil, tapi tubuhnya terlihat sehat.
Jakarta memang ladang rezeki. Siapa saja bisa
menggali nafkah di kota ini. Pertanyaannya ialah mengapa anak-anak yang
masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) itu
mengais rezeki dengan mengemis? Dimana
orang tua mereka? Apakah mereka masuk dalam jaringan pengemis terorganisir?
Sekitar sepuluh tahun lalu, beberapa surat
kabar ibu kota dan liputan media televisi nasional berhasil membongkar jaringan
pengemis di Jakarta. Anak-anak yang mengemis di jalanan mendapat imbalan uang dari kordinator
jaringan pengemis terorganisir.
Drama anak-anak Jakarta yang menangguk rezeki dengan selubung mengemis
ini terus berlangsung sampai sekarang. Namun, banyak juga anak-anak yang
mengemis karena dipaksa oleh ibu dan
bapaknya kandungnya sendiri.
Ada pengalaman menggelitik yang saya alami soal pengemis anak-anak jalanan
di Jakarta. Tiga hari
lalu, sekitar jam tiga sore, saya sedang santai ngopi
bersama beberapa rekan di warung kopi (warkop) perempatan lampu merah, kawasan
pusat perbelanjaan elit, kota Tangerang.
Mata saya menangkap tiga anak (satu perempuan dan dua laki-laki, usia sekitar antara 5 sampai 9 tahun) sedang
menengadahkan tangan meminta uang kepada para pengendara mobil dan motor yang
berhenti saat lampu merah.
Dari sudut warkop, saya lihat seorang wanita muda (usianya
sekitar 35 tahun) berperawakan agak gemuk sedang duduk nyantai di trotoar jalan
sambil menggendong bayi. Pandangannya menebar dan memberi kode kedipan mata
kepada tiga anak yang sedang mengemis di lampu merah. Saya tidak tahu, ada hubungan apa antara ibu dan tiga anak
tersebut.
Lampu hijau menyala, kendaraan meluncur.
Ketiga anak itu berlari ke trotoar dan langsung
menghampiri perempuan yang sedang
nyantai bersama bayinya tadi. Ternyata,
perempuan itu adalah ibu kandung mereka. Kemudian, sang ibu melihat satu per satu kantung bekas gula-gula tempat
duit yang dipegang ketiga anaknya. Sang ibu marah (sambil mengeluarkan
kata-kata kasar) kepada salah satu anak
laki-lakinya, karena tidak mendapatkan uang seperti yang
diharapkan. Sedangkan dua anak
lainnya, hasilnya cukup memuaskan.
Lalu
apa yang terjadi? Dua anak yang hasil ngemisnya memuaskan langsung dikasih minum dan makan oleh sang ibu dan disuruh segera
bergegas main game di warnet (warung internet) yang ada di sebelah warkop. Sedangkan, satu anaknya lagi yang hasil ngemisnya mengecewakan hanya diberi minum dan langsung disuruh
ngemis sendirian sebagai bentuk hukuman. Ooohhh...sungguh memilukan.
Terus terang,
saya shock ketika tahu uang hasil ngemis mereka digunakan untuk main
game di warnet dan membeli jajanan gerobak pinggir jalan. Sang ibu
nampak tersenyum puas sambil ngobrol via HP. Bayinya
yang sedang tidur pulas diletakkan seadanya di trotoar beralaskan tikar
plastik.
www.facebook.com/INDONESIAComment/
plus.google.com/+INDONESIAComment
Indocomm.blogspot.com
#INDONESIAComment
Deenwawan.photogallery.com
Comments
Post a Comment