Renungan Ramadhan Hari ke 28
indocomm.blogspot.com
MEMAHAMI TAFSIR HADIST DENGAN BENAR
Oleh: Wawan Kuswandi
Pemerhati Komunikasi Massa
WA: 081289349614
Bagi para sahabat yang suka mengutip hadist-hadist Rasulullah SAW untuk panduan hidup beragama, perlu berhati-hati dan wajib bersumber dari uraian ahli tafsir hadist yang kompeten, agar terhindar dari kekeliruan dalam menafsirkannya. Hadist merupakan sesuatu yang berasal dari Rasulullah SAW, berupa Qouly (Ucapan), Fi’ly (Perbuatan), Taqrir (Ketetapan), Hammiyah (Keinginan atau Hasrat), dan Siffah (Sifat).
Dalam mensyarah hadist (dalam bentuk tertulis), para ulama menggunakan empat metode, yaitu metode tahlili (analitis), metode ijmali (global), metode muqarin (perbandingan), dan metode maudhu’i. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan saat ini, maka sangat mungkin akan muncul metode baru untuk memahami hadist.
Untuk memahami hadist, ada dua metode yaitu tekstual dan kontekstual. Metode tekstual menekankan pembahasan dari perspektif gramatikal bahasa atau linguistik. Metode ini cenderung memahami hadist pada kesesuaian makna yang terdapat dalam teks secara saklek. Artinya, semua yang tertulis dalam redaksi hadist dipahami sesuai dengan makna bahasanya. Memahami hadist dengan metode ini merupakan salah satu cara yang paling mudah atau sederhana.
Contoh hadist tektual, "Abu Bakar bin Ashram telah bercerita kepada kami, ‘Abdullah telah memberi kabar kepada kami, Ma’mar telah mengabarkan kepada kami dari Hammam bin Munabbih dari Abu Hurairah Ra, Rasulullah SAW. berkata: ”Perang itu adalah tipu daya". (HR. Bukhori No. 2804) (https://carihadis.com/Shahih_Bukhari/2804)
Pemahaman hadist di atas sejalan dengan makna teksnya yaitu perang adalah tipu daya. Dengan demikian hadist tersebut dapat dipahami secara tekstual karena mengandung makna yang sesuai dengan teks hadistnya. Namun, perlu diketahui bahwa banyak hadist tekstual yang justru tidak sesuai dengan makna yang dimaksudkan hadist itu. Inilah penyebab terjadinya kekeliruan dalam menafsirkan makna hadist yang benar.
Setiap hadist mempunyai rumpun keilmuan yang beragam. Seseorang tidak dibenarkan untuk berdalil dengan menggunakan hadist Nabi Muhammad SAW sebelum menguasai secara mendalam ragam keilmuan hadist. Jadi, bagi Anda yang suka mengutip hadist mohon untuk berhati-hati. Contoh sederhananya ialah seseorang tidak dibenarkan mengambil tindakan medis terhadap orang yang sakit kecuali dia adalah seorang dokter dan menguasai ilmu kedokteran.
Sedangkan untuk memahami hadist secara kontekstual diperlukan berbagai pendekatan seperti pendekatan bahasa, asbab al-wurud (historis, sosiologis), pendekatan fisikologis, filosofis dan antropologi. Dengan bantuan berbagai pendekatan itulah, pemahaman terhadap hadist menjadi lebih utuh.
Menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub, seseorang baru bisa dikatakan sebagai ahli hadist ketika dia menguasai tiga ilmu yaitu:
Pertama, Musthalah Hadist yaitu ilmu tentang istilah-istilah dasar dalam ilmu hadist, seperti apa yang dimaksud dengan sanad dan matan. Apa itu hadist sahih, hasan dan dhaif. Apa saja kriteria sebuah hadist disebut sahih, hasan dan dhaif. Apa yang dimaksud dengan istilah mutawatir lafzhi dan mutawatir maknawi. Apa yang dimaksud dengan hadist ahad dan variannya. Ilmu ini berfungsi untuk mempertahankan eksistensi hadist sebagai sumber kedua hukum Islam dari cengkraman orang-orang yang tidak menyukainya.
Kedua, Takhrij dan Dirasah Sanad yaitu ilmu tentang tatacara mengidentifikasi sebuah teks apakah benar ia berstatus sebagai hadist Nabi atau bukan. Selain itu, ilmu ini juga berfungsi untuk membuktikan tingkat validitas hadist, apakah itu hadist sahih, hasan, atau dhaif. Dengan menguasai ilmu ini, seseorang dapat mengatakan bahwa hadist ini bernilai sahih karena sanadnya bersambung hingga kepada Nabi Muhammad SAW dan semua perawi (pembawa beritanya) berstatus jujur dan adil, serta hasil penelitian lainnya.
Ketiga, Thuruq Fahmil Hadist yaitu ilmu tentang tatacara serta kaidah-kaidah khusus dalam memahami teks hadist. Tidak semua hadist sahih langsung diamalkan, tidak semua hadits dhaif langsung ditolak, kaidah bisa membedakan antara hadist yang mengandung syariat dan hadist yang hanya sebatas budaya lokal Arab semata. Ilmu ini sangat penting dalam ranah pengaplikasian hadist sehingga orang yang menguasainya diharapkan dapat memahami konteks sebuah hadist dengan baik dan benar.
Untuk menafsirkan hadist secara benar, menurut Kiai Ali Mustafa Yaqub, ada 6 (enam) cara yaitu:
Pertama, si pembaca hadist harus memahami sistem metafora (perumpamaan) bahasa yang ada pada kandungan hadist. Misalnya, ada leksikon Cicak vs Buaya untuk merujuk pada konflik yang terjadi antara KPK dan polisi. Cara ini dapat digunakan untuk memahami beberapa hadist tertentu. Misalnya, dalam Fath al-Bari, Ibn Hajar mengemukakan sebuah hadist riwayat al-Bukhari. Hadis ini diriwayatkan oleh Aisyah. Para istri bertanya kepada Nabi SAW tentang siapakah yang paling cepat menyusul duluan sepeninggal nabi. Rasul pun menjawab: “Yang paling panjang tangannya”. Akhirnya mereka mengukur tangannya masing-masing dan ternyata yang paling panjang tangannya ialah Saudah. Namun, Zainab yang meninggal duluan, padahal tangannya paling pendek dari istri-istri nabi lainnya. Zainab ini merupakan istri nabi yang paling banyak sedekahnya. Nah, di sini ada kaitan antara “Yang paling panjang tangannya” dan “yang paling sering bersedekah”. Metafora ‘panjang tangan’ dalam kebudayaan Arab dikonotasikan sebagai perilaku yang sering memberi sedekah. Karena itu, dalam pandangan Kiai Ali, metafora perlu dipahami untuk memahami hadist-hadist yang mengandung banyak perumpamaan.
Kedua, si pembaca hadist harus menemukan ‘illat’ dibalik pensyariatan sebuah hukum dalam hadist. Illat termasuk dalam kajian usul fiqih. Illat dalam kajian usul fiqih terbagi menjadi dua, illat yang ada dalam nas agama dan illat yang dihasilkan dari ijtihad. Ini bisa digunakan untuk membaca makna beberapa hadist. Misalnya, hadist tentang perintah agar umat Islam harus berbeda secara penampilan dari kaum musyrik. Nabi SAW bersabda, “Bedakanlah diri kalian dari kaum musyrik. Panjangkan jenggot dan cukurlah kumis kalian.” Perintah panjangkan jenggot dan cukur kumis di sini dilandasi oleh alasan/illat untuk berbeda secara penampilan dari kaum musyrik. Kaum musyrik di zaman nabi tentu berbeda dari kaum musyrik di masa sekarang. Karena itu memahami hadist ini dapat dilakukan dengan melihat illat perintah memanjangkan jenggot dan mencukur kumis itu. Jika di masa Nabi, kaum musyrik memanjangkan kumis dan mencukur jenggot namun di masa sekarang tentu jauh berbeda sesuai dengan kondisi lingkungannya. Misalnya taruhlah kaum musyrik saat ini memanjangkan jenggot dan mencukur kumis, tentu berdasarkan illat untuk berbeda itu, kaum muslim harus memanjangkan kumis dan mencukur jenggot.
Ketiga, si pembaca hadist harus memperhatikan kondisi geografis ketika hadist dituturkan. Ini sangat penting mengingat ada beberapa hadist yang berkenaan dengan arah ritual agama. Misalnya kiblat, buang hajat dan lain-lain. Meski letak geografis itu tidak bisa dijadikan sumber peletakan hukum, namun letak geografis dapat membantu kita memahami hadist. Misalnya, al-Bukhari dalam Sahih-nya meriwayatkan hadist dari Abu Ayyub al-Anshari bahwa Rasul SAW bersabda “Jika seseorang di antara kalian ada yang mau buang hajat, janganlah menghadap atau membelakangi kiblat, tapi menghadaplah ke arah timur atau barat.” Dalam hadist ini tidak disebutkan posisi Rasul ketika menyabdakan hukum arah buang hajat ini. Namun dalam riwayat lain, Ibnu Umar menceritakan pengalamannya. Beliau mengatakan: “ketika aku menaiki rumah Hafsah untuk beberapa keperluan, aku pernah melihat Rasul SAW sedang buang hajat sambil membelakangi kiblat dan menghadap ke arah Syam.” Hafsah merupakan istri Nabi yang dinikahi setelah hijrah ke Madinah. Jelaslah di sini bahwa posisi Nabi saat itu berada di Madinah. Letak Madinah secara geografis berada di arah utara Mekkah. Karena itu, hadist ini tidak boleh diamalkan secara tekstual di Indonesia karena letak geografis Indonesia berada di arah timur. Artinya ketika kita mengamalkan perintah nabi yang mengatakan “menghadaplah ke arah timur atau barat ketika buang hajat” itu artinya kita “menghadap atau membelakangi kiblat”. Tentu ini tidak seperti yang disabdakan Nabi sebelumnya agar kita tidak menghadap kiblat. Artinya jika hadist tersebut diamalkan di Indonesia, maka “menghadaplah ke arah utara atau selatan ketika buang hajat”. Untuk memahami hadist ini, ada dua pendekatan yaitu pertama, pendekatan secara lafal yang berlaku untuk kalimat pertama dari hadist tersebut, “Jangan menghadap kiblat atau membelakanginya”. Kedua, pendekatan secara makna yang berlaku untuk kalimat kedua dari hadist tersebut, “menghadaplah ke arah timur atau barat”. Dua pendekatan ini, kata Kiai Ali, hanya bisa dilakukan bagi orang yang mengetahui letak geografis
Keempat, si pembaca hadist perlu memperhatikan kekinian sebuah hadist. Karena hadist-hadist dituturkan dalam konteks masyarakat Arab. Sejatinya, Al-Quran dan hadist diwahyukan kepada Nabi SAW tidak terlepas dari konteks lingkungannya dan budaya setempat. Meski kadang prinsip al-hadits arabiyyun lughatan wa alamiyyun ma’nan‘ . Hadist itu meski secara lafal berbahasa Arab namun, secara makna bersifat universal. Ujaran Nabi yang berbahasa Arab merupakan bahasa yang sepenuhnya mencerminkan kebudayaan Arab. Karena itu pahami hadist dalam bingkai ruang, tempat dan waktunya. Strategi ini digunakan beliau untuk memahami hadist-hadist yang berkenaan dengan kebudayaan Arab, misalnya pakaian. Hadist-hadist mengenai pakaian banyak sekali jumlahnya. Pemahaman secara tekstual terhadap hadist-hadist pakaian ini akan mengimplikasikan bahwa pakaian Nabi wajib digunakan umat Islam. Padahal, bukan itu yang dimaksud sunnah Nabi. Mengikuti sunnah berarti ya kita harus memakai pakaian sesuai adat dan istiadat sendiri, karena Nabi tinggal di negara Arab, maka beliau memakai pakaian sesuai tradisi Arab.
Kelima, si pembaca hadist harus memperhatikan skala prioritas dalam ibadah. Strategi ini biasanya digunakan untuk memahami hadist yang terkait dengan ibadah haji atau umrah berulang. Jika ada dua ibadah, maka ibadah yang lebih utama harus diprioritaskan untuk diamalkan. Jika ada dua ibadah, yang satu dampak positifnya untuk pribadi, sementara ibadah yang lain dampak positifnya untuk lingkungan sosial, maka ibadah yang berdampak sosial inilah yang diutamakan.
Keenam, si pembaca hadist harus mendahulukan intensionalitas syariah di atas tekstualitas hadist. Contoh hadist yang berkenaan dengan hadist ini ialah perintah Nabi SAW kepada Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Ibrani. Tekstualitas hadist ini mengatakan bahwa mempelajari bahasa Ibrani itu sunnah. Namun, berdasarkan pada pemahaman atas intensionalitas hadist ini, maka belajar bahasa asing itu termasuk sunnah jika semangatnya untuk berdakwah dan kebaikan.
(dari berbagai sumber: https://islam.nu.or.id/ilmu-hadits/ini-tiga-ilmu-bantu-untuk-memahami-hadits-rasulullah-saw-lECgJ )
Comments
Post a Comment